Media Pustaka, Informasi dan Digitalisasi

Senin, 03 Juni 2024

Di Atas Panggung Tidak Selalu Bersandiwara - Esai Kusfandiari MM Abu Nidhat


Sering terjadi lembaga pendidikan mengikutsertakan siswa dalam lomba membaca puisi. Dalam praktiknya, sebelum tampil guru hanya “menyuruh” siswa yang bersangkutan untuk “berlatih sendiri” di rumah. Atau meningkat lagi, ada guru yang meluangkan waktu untuk melatih siswa. Hal yang belum pernah dilakukan yaitu bagaimana siswa menguasai panggung. Jangankan siswa, gurunya sendiri belum pernah tampil di atas panggung.

Menguasai panggung merupakan hal penting dalam acara tertentu. Penguasaan ini bukan berlaku pada pembawa acara atau yang sering disebut sebagai MC (Master of Ceremony). Semua yang berhubungan dengan audiens harus menguasai panggung. Selain pembawa acara, ketua panitia, pembina, narasumber, moderator, penyanyi, pemain musik, peserta lomba harus bisa menguasai panggung. Hal ini mengingat bahwa menguasai panggung merupakan salah satu faktor keberhasilan suatu acara.

Sebagai tempat berlangsungnya pertunjukan, panggung dirancang dengan ketinggian tertentu agar para audiens bisa menonton aktivitas yang terjadi tanpa ada halangan sedikitpun. Tinggi panggung harus dirancang dengan rasio yang proporsional. Harus ada perhitungan yang cermat, misalnya gedung pertunjukan dengan luas 8 x 10 meter persegi dengan ketinggian sekitar 80 cm. Demikian pula jika pertunjukan di luar ruangan, ketinggian panggung harus diperhitungkan dengan luas area. Ada fenomena yang menarik bahwa penyedia panggung berlomba-lomba membut panggung yang tinggi yang juga disesuaikan dengan kualitas soundsystem.

Untuk kepentingan pendidikan (edukasi), saya membatasi pada pelatihan membaca puisi. Yang sering kita lihat bahwa pelatihan membaca puisi hanya dilaksanakan di lantai yang datar. Artinya tidak pernah diselenggarakan simulasi di atas panggung. Simulasi ini akan membuahkan hasil yang efektif dan efisien. Siswa yang dilatih benar-benar terlatih sebelum tampil di atas panggung. Juga guru yang mendampingi “akhirnya” benar-benar menghayati bagaimana “rasanya” berdiri di atas panggung.

Tidak semua orang berkesempatan dan berani berdiri di atas panggung. Demikian pula tidak semua guru berkesempatan dan berani berdiri di atas panggung. Apabila berkesempatan, belum tentu langsung menerima, karena boleh jadi yang bersangkutan mengalami demam panggung. Demam panggung yang berkategori berat dinamakan glossophobia, yaitu jenis fobia sosial yang membuat penyandangnya mengalami ketakutan berlebihan saat berbicara di depan orang banyak.

Sayang sekali bahwa di mata pelajaran Bahasa Indonesia, jatah waktu yang disediakan untuk membaca puisi sangat terbatas. Tidak semua siswa memperoleh pelayanan untuk praktik membaca puisi. Demikian pula sangat sedikit siswa yang berkesempatan untuk tampil di atas panggung, kalau bukan karena ada acara tertentu atau diikutsertakan dalam lomba baca puisi.

Menghayati, mengolah vokal, dan tampil merupakan tiga unsur penting dalam membaca puisi di atas panggung. Oleh sebab itu agar hasilnya maksimal, perlu diselenggarakan pelatihan yang berkali-kali. Hal ini tidak bisa dilakukan dalam sehari penuh. Beberapa hari meski dalam durasi yang pendek lebih bagus daripada satu kali pelatihan dalam waktu berjam-jam.

Menghayati berarti pembaca benar-benar memahami isi dari puisi yang bersangkutan. Pemahaman ini terbaca manakala larik-larik puisi dibaca dengan nada, aksentuasi, irama, kemerduan bahkan jeda yang tepat. Jika dengan pelantang suara, tentu diharapkan pelantang suara yang berkualitas. Jangan sampai pembaca puisi susah payah melakukan pelatihan, ternyata pelantang suara yang disediakan tidak berkualitas.

Mengolah vokal berarti pembaca puisi benar-benar melakukan pengelolaan artikulasi yang sebaik-baiknya. Jadi tidak sekedar mengucapkan kata-kata yang ada dalam larik-larik puisi melainkan harus diolah dengan jelas kapan suatu kata dibaca dengan nyaring dan lantang, dibaca dengan lembut nyaris tak terdengar, dibaca dengan tegas, dibaca dengan nada sedih, meratap, dan merintih, dan sebagainya.

Juga penampilan harus diperhatikan dan tentu saja kostumnya menyesuaikan dengan penyelenggaraan acara dan atau suasana batin yang ada dalam puisi yang bersangkutan. Intinya tidak asal berbusana, dan tidak asal tampil yang akhirnya bisa menimbulkan lelucon maupun kekecewaan audiens.

Tiap orang memiliki warna suara. Dengan kata lain bahwa warna suara itu unik. Memang warna suara seseorang tidak berhubungan langsung dengan kejelasan ucapan. Warna suara berat, tinggi, besar, atau kecil semuanya dapat menghasilkan suara yang jelas apabila pembaca tidak memiliki masalah artikulasi. Ketika puisi dibaca dengan lambat, kejelasan ucapan akan lebih terdengar. Meski sejak lahir, warna suara yang dimiliki terdengar “cempreng” tidak usah berkecil hati. Dengan berlatih secara terus menerus suara “cempreng” bisa dimanipulasi menjadi suara yang indah dan unik, bukan karena manipulasi secara elektronik melalui synchronizer maupun equalizer.

Teknik Membaca Puisi di Atas Panggung

Ada tiga teknik membaca puisi di atas panggung, yaitu membaca tekstual, membaca deklamasi, dan membaca teatrikal. Membaca tekstual memiliki ciri membawa teks pada saat tampil. Hal yang harus diperhatikan hendaknya teks ditulis atau diketik dengan font Arial yang mudah dibaca di atas kertas ukuran A5 atau separuh dari A4. Jangan menggunakan kertas yang berukuran F4, selain bisa menutupi wajah, ukuran ini terhitung tidak praktis. Juga sedapat pungkin tampilan kertas yang menarik lebih tebal mungkin bagian belakang yang mengkilat dengan warna tertentu. Kalau perlu terdapat logo dari lembaga pendidikan atau identitas lain yang relevan.

Membaca tekstual memang tidak ada tuntutan untuk dihafalkan. Dengan teknik ini, puisi yang dibaca bisa divariasikan dengan gerak tubuh, seperti berdiri, duduk, dan bergerak secara terbatas. Misalnya dengan formasi huruf V. Artinya dimulai dari tengah agak belakang, kemudian bergerak serong ke kiri, tangan kiri memegang kertas. Sampai batas tepi panggung kiri depan, kemudian pelan-pelan bergeser ke tengah depan. Jika diteruskan ke kanan, kertas berpindah ke tangan kanan dengan maksud agar tidak menutup wajah dan enak dipandang. Mendekati bait terakhir atau larik-larik terakhir bergerak ke kiri sampai titik tengah. Kemudian mundur beberapa langkah, kertas berpindah tangan ke tangan kiri. Kemudian hormat kepada audiens.

Adapun membaca deklamasi ialah teknik membaca dengan menghafal teks puisi terlebih dahulu. Saat tampil, pembaca tidak membawa teks puisi. Tampilan ini mengharuskan pembaca memiliki daya hafal yang bagus. Kini teknik ini sudah jarang diterapkan, karena dirasa tuntutannya yang berkategori berat. Jangankan pembaca, penyair sendiri sebagai pemilik puisi yang bersangkutan, tidak pernah tampil secara deklamasi.

Meski demikian, teknik ini menunjukkan keunggulan yaitu pembaca bisa secara leluasa bebas bergerak, karena tidak terikat dengan teks yang dibaca. Keunggulan berikutnya, deklamator bisa menunjukkan penghayatan yang lebih baik, ekspresi, suara, gestur, dan mimik wajah yang lebih baik dibandingkan dengan teknik tekstual.

Sedangkan membaca teatrikal merupakan teknik yang lebih kreatfi dan ekspresif. Selain hafalan yang kuat, pembaca dituntut untuk menunjukkan ekspresi, penghayatan, dan penjiwaan secara totalitas terhadap isi puisi yang dibacanya. Dengan demikian, tampilannya menjadi lebih menarik karena didukung dengan eksesoris, musik, latar, dan setting panggung.

Lalu mana yang tepat kita gunakan? Kita bisa menggunakan perpaduan antara membaca tekstual dan membaca teatrikal terbatas. Perpaduan semacam ini juga bisa menghasilkan tampilan yang totalitas, apalagi pembaca benar-benar bisa meragakan dengan gerak tangan yang relevan dan bisa mendeskripsikan larik-larik yang dibaca serta benar-benar bisa menguasai panggung.

Dengan pelatihan rutin dan mengelola gaya yang dipilih berdasarkan aspek kesiapan diri, situasi kondisi, kecocokan puisi, dan sarana pendukung yang memadai, kelak membaca puisi yang dimaksud bisa mencapai hasil yang maksimal. Pelatihan di atas panggung bisa didukung dengan kehadiran sejumlah teman yang duduk dan menyaksikan di depan panggung. Hal ini dimaksudkan untuk melatih mental dan menambah jam terbang pengalaman membaca puisi.

Langkah-langkah Membaca Puisi di Atas Panggung

Langkah-langkah pelatihan membaca puisi di atas panggung, meliputi :
  1. berdiri dengan tenang dan percaya diri dengan kemampuan yang dimiliki,
  2. tubuh dihadapkan kepada penonton, kuasai mental dan situasi dengan cara mengarahkan pandangan ke sekeliling,
  3. dilanjutkan dengan memberikan salam, 4. pertama yang harus dibaca adalah judul dan nama penulis puisi dengan jelas,
  4. berhenti sejenak untuk mengambil nafas. kemudian mulailah membaca puisi dengan penghayatan penuh,
  5. selama membaca puisi harus fokus dan perhatikan larik puisi agar tidak salah membaca,
  6. tidak usah hiraukan hiruk pikuk atau riuhnya suara penonton, dalam simulasi sejumlah teman boleh menimbulkan kegaduhan,
  7. pastikan anda bersikap tenang, kemudian berhenti sejenak, embuskan napas perlahan, hormat kepada penonton sambil menunduk,
  8. tidak usah tergesa-gesa pada saat anda meninggalkan tempat pembacaan puisi,
  9. kejelasan ucapan, kriteria vokal, dan jeda harus diatur dengan tepat agar pembacaan puisi dapat maksimal. pembaca harus memperhatikan kapan saat yang tepat untuk mengambil napas dan berapa lama waktu yang diperlukan.
selain itu, masalah ketahanan dan kelancaran juga menjadi kriteria vokal yang baik. yang dimaksud dengan ketahanan adalah kekuatan vokal dari awal pembacaan sampai akhir pembacaan puisi. terutama untuk puisi panjang, ketahanan sangat dibutuhkan. jangan sampai pada akhir pembacaan puisi, kekuatan vokal sudah berkurang, 11. tampil secara prima yang menyangkut teknik muncul, blocking dan pemanfaatan latar, gerakan tubuh, dan cara berpakaian.

teknik muncul adalah cara yang ditempuh oleh pembaca puisi dalam memperlihatkan diri untuk kali pertama. teknik ini digunakan agar pembaca puisi menguasai panggung terlebih dahulu. hal kedua yang harus diperhatikan berkaitan dengan penampilan adalah blocking. blocking adalah bagaimana pembaca memosisikan tubuh pada saat membaca puisi; blocking juga berkaitan dengan pemanfaatan latar atau benda-benda yang ada di panggung; gerakan tubuh menyesuaikan jiwa puisi yang sedang dibaca. hal keempat adalah cara berpakaian; cara berpakaian berkaitan dengan pertimbangan apakah perlu menggunakan pakaian yang mendukung isi puisi; ketika sedang membacaka puisi kesedihan, misalnya, pakaian yang digunakan berwarna gelap.

Cara Menguasai Panggung saat Lomba Baca Puisi

Cara menguasai panggung saat lomba baca puisi, meliputi : 1. berdoa terlebih dulu, 2. mengarahkan pandangan ke depan seolah-olah menyapa seluruh audiens termasuk juri, 3. optimis memrioritaskan kemenangan dengan semangat yang tinggi namun tanpa beban dengan tetap enjoy.

Tentu saja tulisan yang saya sampaikan ini sangat terbatas. Ada baiknya kita benar-benar bisa memraktikkan. Saya tawarkan kepada teman-teman guru (asatidz dan asatidzah) untuk bersedia mengikuti kelas pelaatihan membaca puisi yang diselenggarakan di masa mendatang, yang pada gilirannya bisa mengimbaskan pada para siswa di kelasnya masing-masing.

Jangan sampai terjadi demam panggung yang tidak kita inginkan. Hal ini menyadarkan kita bahwa panggung harus benar-benar kita kuasai. Siapa tahu di antara kita kelak benar-benar berdiri di atas panggung, meski hanya tampil dengan durasi hanya 4-5 menit.

Ingatlah bahwa pengalaman tampil berdiri di atas panggung merupakan pengalaman yang sangat berharga dan kesempatan itu belum tentu bisa diulang. Ingat pula bahwa “Di atas panggung tidak selalu bersandiwara, melainkan memang serius membawa misi untuk menyampaikan sesuatu di depan audiens sehingga mereka bisa menikmati suasana yang kita ciptakan meski hanya sesaat!”

Pangkur-Ngawi, 01 Juni 2024 M / 24 Dzulqa’idah 1445 H Pukul 20.19 WIB
*) Penulis adalah Budayawan/Penasihat GPMB Ngawi bertempat tinggal di Desa Pangkur, Kecamatan Pangkur, Ngawi dan Pengurus PCM Pangkur
Share:

0 comments:

Posting Komentar