Analogi Berburuk Sangka
Dalam QS Al-Hujurat ayat 12, Allah berfirman :
Yā ayyuhallażīna āmanujtanibụ kaṡīram minaẓ-ẓanni inna ba'ḍaẓ-ẓanni iṡmuw wa lā tajassasụ wa lā yagtab ba'ḍukum ba'ḍā, a yuḥibbu aḥadukum ay ya`kula laḥma akhīhi maitan fa karihtumụh, wattaqullāh, innallāha tawwābur raḥīm ١٢
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."
Ada sejumlah hal yang bisa kita petik dari ayat ini, yaitu :
- Pertama, panggilan hanya ditujukan kepada orang-orang yang beriman
- Kedua, agar setiap kita menjauhi purba sangka
- Ketiga, purba sangka adalah berdosa
- Keempat, setiap kita tidak boleh mencari-cari keburukan orang
- Kelima, setiap kita tidak boleh saling menggunjingkan
- Keenam, berburuk sangka dianalogikan sebagai orang yang memakan bangkai saudaranya, yang memberikan gambaran agar setiap kita merasa jijik
- Ketujuh, agar kita selalu bertakwa kepada Allah
- Kedelapan, Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang
Di era modern analogi yang disebutkan dalam butir 6 (orang yang memakan bangkai saudaranya) disebut predator. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), predator berarti hewan yang hidupnya dari memangsa hewan lain atau hewan pemangsa hewan lain. Contoh predator adalah biawak, buaya, buaya, camar, capung, elang, harimau, hiu, komodo, laba-laba, rajawali, singa, dan ular. Secara umum, sesuai habitat masing-masing, hewan-hewan ini termasuk karnivora yaitu hewan pemakan daging.
Secara analogi atau kiasan, predator berarti pemangsa, seseorang yang memiliki sifat buas atau ganas, yang suka menindas orang lain. Pengghibah termasuk salah satu dari predator. Dengan mengghibah, ia telah membunuh karakter orang yang dighibah. . tanpa konteks ataupun sistematis, pengghibah mereduksi atau menghancurkan reputasi seseorang.
Ruang privacy atau auratnya dibongkar, tentu dibicarakan dengan orang-orang yang sebagian besarnya tidak berkepentingan. Membunuh karakter berarti membuat orang yang dighibah menjadi tidak berdaya, tidak bisa melakukan pembelaan kehormatan diri. Keburukan yang belum tentu melekat pada dirinya terlanjur menyebar dan ia akan mengalami kesulitan untuk melakukan konfirmasi (meluruskan kepada hal yang sebenarnya). Kalau pun berusaha melakukan konfirmasi, ia akan mengalami kesulitan untuk menyampaikan kepada pihak-pihak yang menerima ghibah.
Berghibah Sama Halnya Berbuat Dosa
Oleh sebab itu, berghibah atau mengghibah termasuk perbuatan dosa.
Hadist riwayat Muslim dan at-Tirmidzi sebagai berikut:
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, “Suatu ketika ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah. Apakah ghibah itu?’ Beliau menjawab, ‘Yaitu menyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak dia sukai.’
Beliau kembali ditanya, ‘Apa pendapatmu jika apa yang aku katakan itu ada pada saudaraku?’ Beliau menjawab, ‘Jika apa yang kamu katakan ada padanya, maka sesungguhnya kamu telah mengghibahnya (mengumpatnya). Dan jika tidak ada padanya, maka sungguh kamu telah memfitnahnya.”
Dari hadits ini kita menemukan deskripsi ghibah, sebagaimana hadits-hadits lain, Rasulullah SAW senantiasa menyampaikan deskripsi dan bukan definisi. Hadits ini memberikan gambaran yang jelas bahwa ghibah itu “dzikruka akhaaka bimaa yakrahu” maksudnya “kau (mufrad bukan jamak) mengingat (menyebutkan) saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya”. Tampak bahwa kata “yakrahu” sebagai fi’il mudhari dari “karaha” (benci, tidak suka). Klausa “bimaa yakrahu” dimaksudkan sebagai segala sesuatu yang dengan menyebutkan segala sesuatu mengenai diri seseorang membuat seseorang tidak menyukainya.
Ada orang yang tidak suka dengan ghibah tentang kebaikan-kebaikannya. Tentu semua atau setiap kita tidak menyukai orang-orang yang berghibah tentan keburukan-keburukan kita, apalagi keburukan-keburukan yang diuraikan itu tidak semua merupakan fakta.
Jika ghibah benar-benar terjadi, tidak menutup kemungkinan bisa menimbulkan perseteruan atau perpecahan dalam pergaulan. Jika tidak dapat dikendalikan, pada gilirannya akan timbul upaya saling serang hingga membangkikkan suasana benci dan curiga.
Jika diteruskan, timbullah suasana yang tidak kondusif atau tidak harmonis. Oleh sebab itu, mari kita usahakan untuk tidak membiasakan diri berghibah agar terjalin ukhuwwah islamiyyah. Sebagai golongan orang-orang yang beriman, sudah semestinya kita berusaha menjaga kasih sayang yang selama ini terjalin.
Jika seseorang terbukti melakukan perbuatan yang buruk, kita tidak terburu-buru menghakiminya dengan mengghibah. Masih ada cara untuk memberi nasihat secara halus dan langsung. Jika seseorang melakukan kejahatan, ghibah bukan solusi untuk menumpas kejahatannya.
Jika ghibah merupakan pembicaraan yang mengada-ada, maka tergolong fitnah yang kategorinya lebih kejam dari pembunuhan. Fitnah yang demikian mencerminkan sifat hasad atau dengki dalam hatinya. Setiap kita pasti memiliki kelemahan atau kekurangan. Oleh sebab itu, dalam pergaulan kita berusaha melakukan sinergi, yakni saling melengkapi dan menunjang. Dengan bersinergi, kita mesti menghargai kelebihan masing-masing untuk membangun peradaban.
Memang ada di antara para ulama ada yang membolehkan ghibah dengan syarat, yaitu jika ghibah tersebut bermanfaat demi kemaslahatan umat yang lebih luas, yakni supaya tetap tegaknya hukum Allah. Sebaliknya jika tidak disampaikan justru malah menyesatkan umat dari hukum yang sebenarnya. Juga ghibah dalam rangka melaporkan kejahatan seseorang kepada yang dianggap mampu meluruskan kejahatan tersebut. Diam itu emas, tetapi kebusukan tidak bisa dibiarkan.
Ikan Busuk Dimulai dari Kepalanya
Seorang filsuf Romawi, Marcus Tullius Cicero, berseru,” Ikan busuk dimulai dari kepalanya. Untuk menghindari membusuknya seluruh tubuh ikan itu, maka kepalanya harus dipotong. Kebusukan itu dimulai dari puncak. Kebusukan itu dimulai dari pemimpin-pemimpin!”
Itulah analogi yang disampaikan oleh Cicero mengingat banyak pemimpin Romawi (kepala dari suatu pemerintahan) yang melakukan tindakan pidana korupsi pada saat itu. Secara fisiologi, kepala ikan yang sudah mati lebih sering mengalami pembusukan terlebih dahulu di banding bagian tubuh lainnya. Oleh sebab itu, agar tidak ikut membusuk, bagian kepala harus segera diamputasi kemudian dibuang. Secara analogi, dalam suatu organisasi (lembaga macam apapun), pemimpin melakukan suatu perbuatan yang tercela (busuk) maka pemimpin itu harus segera diganti karena khawatir akan mencemari atau mempengaruhi bagian tubuh lainnya (bawahan, karyawan, staf, personalia, dan sebagainya).
Sebenarnya, secara empiris ilmiah bahwa membusuknya ikan berawal dari insang dan jeroan (isi perut) karena merupakan sumber dan atau tempat berkembangbiaknya bakteri paling besar pada ikan. Sejumlah spesies bakteri patogen sering ditemukan pada ikan dan produk perikanan antara lain: Vibrio parahaemolyticus dan jenis Vibrio lainnya, Escherichia coli, Aeromonas spp., Salmonella spp., Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes, Clostridium botulinum, C. perfringens, dan Shigella spp.Dengan demikian insang dan jeroan harus dibuang. Namun, karena posisi insang di kepala, seluruh bagian kepala terkena imbasnya. Meskipun demikian, jangan Anda salahkan analogi tersebut di atas. Juga tidak usah Anda sebut “ikan busuk dimulai dari insang dan jeroannya”.
Analogi lainnya bahwa kita harus menjaga kepala dan isi kepala kita. Kalau pikiran dan perasaan kita baik, maka baiklah perbuatan dan ucapan kita. Namun, kalai pikiran dan perasaan kita buruk, maka buruklah perbuatan dan ucapan kita. Salah satu di antaranya, kita harus berusaha menjaga isi kepala kita agar kita tidak usah ikut-ikutan untuk berghibah atau mengghibah teman kita, teman kita, bahkan pemimpin kita, bahkan pula pemimpin yang busuk.
Jagalah Hati agar Tetap Baik
Rasulullah SAW pernah bersabda,’Ingatlah, dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Kalau segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya. Tetapi, bila rusak, niscaya aka rusak pula seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu bernama qalbu.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).
Qalbu inilah pangkal keindahan dan kemuliaan. Kuncinya ada pada bagaimana kita mampu menjaga qalbu tetap baik, tetap cantik dan indah. Imam al Ghazali menggolongkan hati ke dalam tiga kelompok, yaitu hati yang sehat (qalbu shahih), hati yang sakit (qalbu maridh), dan hati yang mati (qalbu mayyit). Hati yang sehat berfungsi optimal, yaitu mampu memilah dan melilih setiap rencana atas suatu tindakan. Setiap apa yang kita perbuat benar-benar sudah melewati perhitungan sebagai amal yang shalih. Dengan hati yang sehat, kita dapat mengenal Allah dengan baik.
Hati yang baik sangat jauh dari ujub dan takabbur. Hati yang baik mengarahkan sebagai pribadi yang suka bersyukur, tersungkur bersujud. Semakin tinggi pangkatnya, akan membuatnya semakin rendah hati. Kian melimpah hartanya, ia akan kian dermawan. Semua itu karena ia menyadari bahwa semua yang ada adalah titipan Allah semata. Tidak dinafkahkan dijalan Allah pasti Allah akan mengambilnya jika Allah kehendaki.
Hati yang semakin bersih membuat hidup kita akan selalu diselimuti rasa syukur. Di karuniai apa saja, kendati sedikit, kita tidak akan habis-habisnya meyakini bahwa semua ini adalah titipan Allah semata, sehingga amat jauh dari sikap ujub dan takabbur.
Tatkala dianugerahi Allah berbagai kelebihan, Nabi Sulaiman berseru, “hazza min fadhli rabbi, liyabluwani aasykuru am akfuur (An Naml, 27: 40). (Ini karunia Tuhanku untuk mengujiku apakah aku mampu bersyukur atau malah kufur atas nikmatNya.)
Bagi orang yang hatinya bersih, setiap ujian yang kita terima tetap terasa nikmatnya. Dengan adanya ujian, kita justru benar-benar akan membuat pribadi kita bisa merasakan indahnya hidup ini. Dengan hati yang bersih, kita yakin bahwa ujian adalah salah satu perangkat kasih sayang Allah, yang membuat keimanan dan ketaqwaan kita semakin bermutu dan mengalami peningkatan.
Adanya persoalan menjadikan pribadi kita semakin bertambah ilmu dan sekaligus semakin bertambahlah pahala. Dengan persoalan pula derajat kemuliaan kita semakin meningkat. Sebagai hamba Allah, hati kita yang terjaga sehat tidak akan pernah resah, kecewa dan berkeluh kesah karena kita menyadari bahwa persoalan merupakan bagian yang harus kita nikmati dalam hidup ini.
Dengan hati bersih, ditimpa apapun dalam hidup ini, in sya’a Allah, kita tidak pernah akan berguncang walaupun badai datang menerjang. Ibarat karang yang tegak tegar, dihantam ombak sedahsyat apapun tidak akan pernah roboh. Tidak ada putus asa, tidak ada keluh kesah berkepanjangan. Yang ada hanya kejernihan dan keindahan hati.
Kita mesti yakin dengan janji Allah, seperti yang disebutkan dalam QS Al Baqarah, 2:286 :
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَاۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ اِنْ نَّسِيْنَآ اَوْ اَخْطَأْنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهٗ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهٖۚ وَاعْفُ عَنَّاۗ وَاغْفِرْ لَنَاۗ وَارْحَمْنَاۗ اَنْتَ مَوْلٰىنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَࣖ ٢٨٦
lâ yukallifullâhu nafsan illâ wus‘ahâ, lahâ mâ kasabat wa ‘alaihâ maktasabat, rabbanâ lâ tu'âkhidznâ in nasînâ au akhtha'nâ, rabbanâ wa lâ taḫmil ‘alainâ ishrang kamâ ḫamaltahû ‘alalladzîna ming qablinâ, rabbanâ wa lâ tuḫammilnâ mâ lâ thâqata lanâ bih, wa‘fu ‘annâ, waghfir lanâ, war-ḫamnâ, anta maulânâ fanshurnâ ‘alal-qaumil-kâfirîn
Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya. Baginya ada sesuatu (pahala) dari (kebajikan) yang diusahakannya dan terhadapnya ada (pula) sesuatu (siksa) atas (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa,) “Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami salah. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami. Maka, tolonglah kami dalam menghadapi kaum kafir.”
Oleh sebab itu dengan hati yang bersih, kita berusaha menjauhkan diri dari berghibah atau mengghibah. Hal ini mengingat bahwa beban setiap orang menurut kesanggupannya. Sebagai pangkal keindahan dan kemuliaan, kita berusaha menjaga hati tetap bersih, dan hidup kita selalu diselimuti rasa syukur.
Adapun kalau ada seseorang yang patut diduga menyimpang dan atau melakukan perbuatan yang baik, sedapat mungkin kita memberi nasihat kepadanya. Kita berusaha mengingatkan dengan cara sebaik-baiknya. Jangan sampai kita berghibah atau menggibah. Jika tidak mungkin, sebaiknya kita diam. Diam itu emas, tetapi kebusukan tidak bisa dibiarkan.
https://www.kompasiana.com/luqmanfaiq/6004ca18d541df419f6dd168/filosofi-ikan-busuk
Semoga kita sekalian dalam lindungan Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Afwan.
Nashrun min Allah wa fathun qarib.
Ngawi, 09 Ramadhan 1445 H / 19 Maret 2024 M Pukul 08.27 WIB *) Penulis adalah Budayawan/Penasihat GPMB Ngawi bertempat tinggal di Desa Pangkur, Kecamatan Pangkur, Ngawi dan Pengurus PCM Pangkur
0 comments:
Posting Komentar