Media Pustaka, Informasi dan Digitalisasi

Senin, 10 Juni 2024

Parenting : Ada Apa dengan Bahasa Ibu? - Esai Kusfandiari MM Abu Nidhat*)


QS Ar-Rum · 30:22
وَمِنْ اٰيٰتِهٖ خَلْقُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافُ اَلْسِنَتِكُمْ وَاَلْوَانِكُمْۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّلْعٰلِمِيْنَ ۝٢٢

wa min âyâtihî khalqus-samâwâti wal-ardli wakhtilâfu alsinatikum wa alwânikum, inna fî dzâlika la'âyâtil lil-‘âlimîn

Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasa dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berilmu.

Tafsir Wajiz

Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah penciptaan langit tanpa penyangga dan bumi yang terhampar, demikian pula perbedaan bahasamu yang diucapkan dengan mulut yang terdiri atas unsur yang sama: bibir, gigi, dan lidah; dan perbedaan warna kulitmu meski kamu berasal dari sumber yang satu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda eksistensi dan keesaan-Nya bagi orang-orang yang mengetahui atau berilmu. Dari 8.324 bahasa, sekitar 7.000 masih digunakan. Situs web Ethnologue, Languages of the World, salah satu situs yang otoritatif dan banyak dikutip oleh linguis, mencatat bahwa bahasa yang digunakan di dunia berjumlah 7.168 (perbedaan bahasa).

Al-Qur’an menyebut cara berbahasa dan komunikasi yang baik itu dengan istilah Qaulan Ma’rufan (QS An-Nisa’ ayat 5 dan ayat 8). Qaulan ma’rufan adalah kalimat dan kata yang sopan, lemah lembut, ungkapan yang pantas dan tidak menyakitkan atau menyinggung perasaan yang mendengar atau diajak bicara.

Ma’rufa identik dengan kata ‘urf yang bermakna budaya. M. Quraish Shihab menyatakan ma’ruf secara bahasa artinya baik dan diterima oleh nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Karena itu Qaulan ma’rufan berarti perkataan yang pantas dengan latar belakang dan status seseorang, menggunakan sindiran (tidak kasar) dan tidak menyakitkan atau menyinggung perasaan serta pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan kemaslahatan.

Selain Qaulan ma’rufan, Al-Qur’an juga menyebut istilah Qaulan Sadida (QS An-Nisa’ 4:9) yaitu istilah yang digunakan untuk menyebut perkataan yang benar dan jujur. Perkataan yang kita sampaikan hendaknya perkataan yang benar dan jujur, bukan berbohong atau mengandung penipuan. Kemudian ada istilah Qaulan Baligha (QS An-Nisa’ 4:63), yang artinya perkataan yang tetap sasaran dan mudah dimengerti serta berbekas di jiwa. Al-Qur’an juga menggunakan istilah Qaulan Karima (QS Al-Isra 17:23), yang artinya perkataan atau ucapan yang mulia, bukan kata yang penuh cacian, kasar lagi keras. Ada pula istilah Qaulan Layyinan (QS Thaha 20:44), artinya perkataan yang lemah lembut yang menggugah kesadaran. Terakhir adalah Qaulan Maysura (QS Al-Isra 17:28) yang artinya perkataan yang ringan, mudah dimengerti dan dipahami.

Menjadi tugas orang tua, para pendidik, dan para pemimpin untuk menanamkan nilai-nilai karakter kepada anak didik dan generasi penerus bangsa. Salah satunya adalah dengan mengajarkan berbahasa dan berkomunikasi yang baik. Cara berbahasa yang baik adalah cermin dari karakter diri. Menggunakan istilah Al-Qur’an, berbahasa dan berkomunikasilah dengan Qoulan ma’rufan, Sadidan, Baligha, Karima, Layyinan dan Maysura. (Dr. Mukhtar Hadi, MSi (Direktur Pascasarjana IAIN Metro) 16.01.23)
https://www.metrouniv.ac.id/artikel/penggunaan-bahasa-dan-karakter-diri/

Ibu adalah Sekolah Pertama

Bahasa Ibu adalah bahasa yang pertama kali dipelajari oleh seorang anak kecil (sejak kecil) secara alamiah dan menjadi dasar sarana komunikasi serta pemahaman terhadap lingkungannya. Dikatakan Bahasa Ibu, karena anak (anak-anak) belajar berkomunikasi dengan bahasa yang dipergunakan oleh Ibu. Secara intensif setiap hari Ibu mengajari mereka mengucapkan kata-kata tertentu untuk mengenalkan benda-benda yang ada di sekitarnya. Awalnya tidak langsung paham, lama kelamaan mereka paham. Awalnya tidak langsung bisa mengucapkan dengan ucapan yang benar, lama kelamaan mereka bisa fasih (dengan lancar, tepat, dan benar) ucapan dan makna yang dimaksud. Dari Bahasa Ibu, mereka menerima transformasi pendidikan pertama dengan tahap-tahap yang mendasar tanpa kurikulum.

Hafez Ibrahim (24 Februari 1872 – 21 Juni 1932) adalah seorang penyair Mesir terkenal dari awal abad ke-20. Ia dijuluki "Penyair Sungai Nil", dan kadang-kadang "Penyair Rakyat", karena komitmen politiknya kepada orang miskin. Salah satu ungkapannya yang terkenal, yaitu “al-Ummu Madrasatul-ula, iza a'adadtaha al'dadta sya'ban thayyibal a'raq!” artinya “Ibu adalah Sekolah Pertama bagi anaknya, jika engkau persiapkan ia dengan baik, maka sama halnya engkau persiapkan bangsa yang baik pokok pangkalnya!” (Murtafiah, 2019). Kata “al-ummu (الأُمُّ)” atau “ummun (أُمٌ)”, artinya ibu. Misalnya: Ummu Badriyah (Ibu Badriyah), Ummu Fadil (Ibu Fadil), Ummu Syamsiyah (Ibu Syamsiyah), Ummu Yazid (Ibu Yazid). Sedangkan panggilan anak kepada ibunya (ibu kandungnya), adalah “ummi” yang berarti “Ibu” atau “Ibuku”, dan ibu-ibu pada umumnya disebut “ummah”. Terkait dengan kebangsaan disebut “ummat” karena terbayang di komunitas tersebut terdapat peran ibu-ibu.

Dikatakan “al-ummu madrasatul ula” – “Ibu adalah Sekolah Pertama”, karena berawal dari ibulah, anak-anak memperoleh pendidikan. Dari ibulah, mereka belajar mengenali hal-hal baru dalam hidupnya. Mereka belajar menyimak dan berbicara, menimba ilmu dan adab yang mulia, serta menempa kepribadiannya demi mengarungi kehidupan yang luas bagai samudera di masa mendatang.

Dengan kata lain, ibu berperan dan bertanggung jawab dalam mendidik dan mengajar anak-anaknya. Dari ibu, anak-anak termotivasi untuk belajar sesuatu. Ibu adalah sosok pertama yang memperkenalkan dan mengajarkan anak terhadap dunia. Ibu memberi inspirasi dan berpengaruh dalam membentuk pola pikir anak. Dalam keluarga, berperan penting mendidik dan mengajar tentang keyakinan beragama, adab dan norma, fisik dan mental, intelektual, dan psikologi anak-anak sehingga terbentuk kepribadian yang baik dalam diri mereka.

Dengan Bahasa Ibu, anak usia dini mengenal dunia sekitarnya. Dengan mekanisme mekanisme pengenalan dunia sekitar, pancainderanya menunjukkan kinerja yang berlanjut sampai ke saraf pusat. Dengan Bahasa Ibu, mereka bisa mengungkapkan keinginannya. Dengan Bahasa Ibu, mereka menempuh beragam aspek perkembangan yang menyangkut agama dan moral, fisik-motorik, kognitif, sosial-emosional, bahasa, dan seni. Pada tahap ini, terjalinlah komunikasi dan interaksi antara anak dan orang sekitar, terutama Ibu.

Dengan Bahasa Ibu, anak-anak yang mulai menyimak dengan mengenal ucapan dari ibu atau orang lain yang lagi berkomunikasi dengan mereka, kemudian mereka mencoba meniru dengan mengucapkan “kata yang kurang lebih sama bunyinya”. Dalam masa pertumbuhan, bayi mulai belajar untuk memanggil “Ibu” atau “Mama” atau “Ummi”, “Ayah” atau “Papa” atau “Abi”. Komunikasi yang terjadi menjadi dasarpengalaman pendengaran dan penglihatan mereka terhadap bahasa sekitar.

Ketika telah mampu bersuara, pelan-pelan mereka belajar kosakata dengan tata bahasa sederhana. Mereka mulai memahami makna tiap kata yang bergantung pada pengalamannya. Pelafalan kata-kata pun bergantung pada pola pengasuhan di lingkungan terdekat dan perbedaan domisili. Dengan demikian, perkembangan Bahasa Ibu bagi mereka menjadi bagian terpenting dalam perkembangan komunikasi anak usia dini. Hal inilah yang tidak boleh lepas dari perhatian orang tua dan pendidik.

Anak-anak mendengar dan melihat orang-orang di sekitarnya berbicara. Dengan cermat, mereka mendengar kata diucapkan, sekaligus mereka melihat gerakan bibir saat mengucapkan kata yang dimaksud. Kemampuan fisiologi semacam ini diteruskan ke saraf pusat yang menjadi titik utama kemampuan kognitif mereka. Mereka mulai menguasai dan memahami percakapan yang terjadi, dan dapat mengucapkan dari bagian percakapan yang dimaksud.

Bahasa Ponsel Bahasa Kedua (?)

Saat Ibu Muda sibuk karena profesi, biasanya pengasuhan anak diserahkan kepada asisten rumah tangga (ART). Tidak semua ART memahami pendidikan, namun punya bekal dalam pengasuhan meski tidak sepenuhnya. Ponsel sebagai produk teknologi multifungsi menjadi sasaran dipergunakan sebagai mainan anak-anak. Yang penting mereka diam, tidak rewel, dan asyik dengan pencarian hal-hal baru yang mereka sukai. Boleh jadi mereka terjun secara mandiri dalam komunikasi dengan bahasa yang berbeda dengan Bahasa Ibu, katakanlah Bahasa Kedua.

Anak usia 2 - 4 tahun boleh jadi memiliki bakat terpendam dengan karakter memiliki kemampuan luar biasa di bidang seni, menghitung atau mengingat angka, kosakata yang beragam, rasa ingin tahu yang tinggi, tidak bisa berhenti bertanya, berkonsentrasi pada satu tugas untuk jangka waktu yang panjang, sangat senang ketika mengerjakan hal yang sesuai dengan ketertarikan mereka, suka menerima tantangan dengan aktivitas sulit, berdaya imajinasi tinggi, serta mampu mengingat fakta dengan mudah dan bisa menceritakan kembali informasi yang mereka terima.

Selidik punya selidik, Ibu merasa curiga lalu melakukan observasi ringan di waktu senggangnya. Ternyata dengan ponsel, si buah hati memiliki akses ke beragam sumber informasi dan sumber belajar yang tidak terbatas. Ibu baru tahu bahwa si buah hati punya bakat terpendam. Ia pernah berpesan kepada ART agar membatasi si buah hati memegang ponsel. Namun, ART tidak berkuasa untuk melarang. Ada pembiaran kepada si buah hati untuk berlama-lama “bermain” ponsel.

Setelah diadakan “tes” ternyata si buah hati hampir bisa menjawab sejumlah pertanyaan yang diajukan Ibu. Si Ibu merasa bangga dan gembira karena ia menemukan bakat terpendam anaknya. Ia pun baru tahu bahwa si anak mempunyai Bahasa Kedua. Jika Bahasa Pertama atau Bahasa Ibu-nya adalah Bahasa Jawa, kini si anak “telah menguasai” Bahasa Kedua, yaitu Bahasa Indonesia.

Alih Kode Vs Campur Kode

Dalam kajian sosiolinguistik, anak yang memiliki dua bahasa (dwi bahasa) tidak bisa menghindari alih kode dan campur kode. Bahasa sebagai alat komunikasi, di era digital dikenal dengan kode komunikasi.

Model komunikasi coding-decoding pertama kali dikembangkan oleh pakar kajian budaya Stuart Hall pada tahun 1973. Stuart Hall memberi judul penelitiannya 'Encoding dan Decoding dalam Wacana Televisi. ' Esai Hall menawarkan pendekatan teoretis tentang bagaimana pesan media diproduksi, disebarluaskan, dan ditafsirkan.

Jika dirunut, sejarah bahasa berlangsung sepanjang sejarah manusia. Para peneliti sejarah bahasa yang menyimpulkan bahwa bahasa muncul pertama kali kurang lebih 3000 tahun SM. Bahkan, menurut Noam Chomsky, bahasa muncul sekitar 60.000 hingga 100.000 tahun yang lalu di Afrika. Sebelum bahasa ditemukan, diperkirakan manusia berkomunikasi menggunakan suara-suara yang dihasilkan oleh mulut dan melalui gerakan tubuh saja.

Berdasarkan informasi sekilas tersebut di atas, bahasa primitif sekalipun sebenarnya terjadi mekanisme coding-decoding. Artinya hanya masyarakat pengguna bahasa primitif tersebut yang “fasih berbahasa”. Orang-orang di luar menganggap “coding-decoding” sebagai sesuatu yang rahasia, yang pada gilirannya tidak memahami atau tidak mengerti komunikasi yang sedang terjadi.

Dengan kata lain, bahwa coding-decoding sebenarnya telah dipergunakan oleh warga dunia dengan ragam kecerdasannya pada puluhan ribu tahun yang lalu!

Kembali ke Laptop!

Satu bahasa menunjukkan satu paket rantai panjang coding-decoding. Berarti, dua bahasa menunjukkan dua paket rantai panjang coding-decoding. Dalam hal ini balita (atau siapapun) mengalami Campur Kode manakala apa yang akan disampaikan tidak berada dalam satu kode atau bahasa yang sama. Satu kata dengan Bahasa Pertama sedangkan kata berikutnya dengan Bahasa Kedua, demikian seterusnya. Dengan harapan ucapan yang disampaikan bisa dimengerti oleh lawan bicara (Ibu, ART, anggota keluarga lainnya).

Campur kode adalah penyisipan unsur bahasa kedua (kode komunikasi yang berbeda) di saat menggunakan bahasa pertama. Sedangkan Alih Kode merupakan peralihan klausa dari suatu bahasa ke klausa bahasa lain. Dalam hal ini klausa dianggap merupakan satu rangkaian kode terintegrasi yang dipahami oleh komunikator dan komunikan.

Dalam hal ini anak-anak tidak merasa khawatir atau tidak begitu peduli bahwa komunikasi yang mereka sampaikan menunjukkan Campur Kode.

Melestarikan Bahasa Ibu

Kita sadari dan akui bersama bahwa Bahasa Daerah, misalnya Bahasa Jawa adalah Bahasa Ibu atau Bahasa Pertama dan Bahasa Indonesia merupakan Bahasa Kedua. Penggunaan Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi telah mendominasi dalam rentang waktu 24 jam. Di sekolah selama 7 jam peserta didik menerima transformasi pendidikan dan pengajaran dengan Bahasa Indonesia. Di luar pembelajaran mereka berhadapan dengan gawai dengan komunikasi Bahasa Indonesia. Kapan efektif menggunakan Bahasa Jawa?

Oleh sebab itu, dengan memperhatikan kondisi semacam ini, sudah sepatutnya kita berusaha melestarikan Bahasa Daerah masing-masing. Cara termudah, dalam satuan terkecil, orang tua berperan dengan kesadaran penuh menggunakan Bahasa Ibu (Bahasa Daerah) dalam komunikasi di tingkat keluarga. Demikian pula di tingkat hidup bertetangga. Sebab, bila tidak dilestarikan Bahasa Ibu akan tergerus oleh peradaban modern yang cenderung menggunakan Bahasa Indonesia (Bahasa Kedua) dan atau Bahasa Asing (Bahasa Ketiga).

Disadari atau tidak bahwa Ibu memang sebagai Madrasah Pertama. Di madrasah pertama inilah, Ibu mengajari Qaulan ma’rufan, Qaulan Sadida, Qaulan Baligha, Qaulan Karima, dan Qaulan Layyinan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Dengan harapan budi bahasa (adab), dan budi daya (budaya termasuk bahasa di dalamnya) bisa diwariskan kepada anak-anaknya, yang pada gilirannya bisa dilestarikan.

Harus kita ingat dan kita merasa prihatin bahwa di Indonesia, ada sebelas Bahasa Daerah yang mengalami kepunahan, yaitu bahasa : 1. Hoti – Maluku, 2. Hukumina – Maluku, 3. Kajeli - Kayeli Maluku, 4. Mawes – Papua, 5. Moksela – Maluku, 6. Nila – Maluku, 7. Palumata – Maluku, 8. Piru – Maluku, 9. Serua – Maluku, 10. Tandia - Papua Barat, dan 11. Ternateno - Maluku Utara. Sebagai catatan bahwa kepunahan suatu bahasa disebabkan oleh : 1. berkurangnya jumlah penuturnya karena penutur aslinya tinggal beberapa orang saja, 2. terdesak oleh pengaruh bahasa-bahasa daerah lain yang lebih dominan.

Sedangkan pergeseran penggunaan bahasa dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia disebabkan oleh : 1. Lingkungan pergaulan yang majemuk bahasa dan suku, 2. medan tugas yang relatif tidak tetap atau berpindah-pindah, dan 3. orang tua berlainan suku. Bagaimanapun dalam keluarga, Ibu tetap berperan menjaga komunikasi dengan bahasa tutur yang dikuasai dan tetap dipergunakan dalam bertutur dengan anak-anaknya. Bukan berarti fanatisme terhadap Bahasa Daerah, melainkan siapa lagi kalau bukan kita (keluarga) yang melestarikan. Perkara Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Kedua, sebenarnya anak-anak sudah bisa beradaptasi sewaktu hadir di sekolah dan berbaur dengan teman-teman yang berbeda suku dan bahasa daerah.

Seperti dalam tulisan ini yang menggunakan Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi, penulis tetap menggunakan Bahasa Jawa dalam pergaulan sehari-hari baik mode Ngoko maupun mode Krama Madya dengan siapapun terutama dalam lingkup yang tidak formal. Meski Bahasa Jawa, sebagai bahasa daerah terbanyak penuturnya di antara 715 bahasa daerah, tidak menutup kemungkinan di waktu mendatang bakal tergerus dan populasi penuturnya bakal berkurang apabila anak-anak kita sebagai generasi penerus sudah tidak lagi mampu atau bersedia menggunakan Bahasa Jawa sebagai Bahasa Ibu.

Dalam rangka menjaga keanekaragaman budaya dan bahasa di Indonesia, pelestarian bahasa daerah menjadi suatu hal yang sangat penting. Pendidik, orang tua, literat, budayawan, sastrawan, dan masyarakat dapat berperan aktif dalam melestarikan bahasa daerah agar tetap hidup dan terus berkembang. Salah satu alasan utama pentingnya melestarikan bahasa daerah adalah untuk melindungi warisan budaya. Bahasa daerah merupakan salah satu wujud nyata dari tradisi, sejarah dan nilai-nilai yang dianut oleh suatu komunitas. Melalui bahasa, cerita rakyat, dongeng, dan pengetahuan genetik dapat dilestarikan.

Referensi :
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7231619/kemendikbud-ungkap-11-bahasa-daerah-di-indonesia-punah-ini-deretannya

Pangkur-Ngawi, 07 Juni 2024 M / 29 Dzulqa’idah 1445 H Pukul 13.26 WIB *) Penulis adalah Budayawan/Penasihat GPMB Ngawi bertempat tinggal di Desa Pangkur, Kecamatan Pangkur, Ngawi dan Pengurus PCM Pangkur
Share:

0 comments:

Posting Komentar