Satu hadits menyebutkan :
وَعَنْ جَابِرٍ
– رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ – ، يَقُوْلُ : (( أَفْضَلُ الذِّكْرِ : لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ )) .
رَوَاهُ التِّرْمِذِي ، وَقَالَ : (( حَدِيْثٌ حَسَنٌ ))
Dari
Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, bahwa ia mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dzikir yang paling utama adalah
laa ilaha illallah (tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah).”
(Hadits Riwayat Tirmidzi, ia menyatakan bahwa hadits ini hasan) [Hadits Riwayat
Tirmidzi, nomor 3383. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan].
Bagaimana halnya dengan “Dzikir Hu”?
Salah seorang pakar dzikir yang juga ahli thariqat memberikan
penjelasan yang cukup panjang, sebagai berikut. “Lafadz الله ternyata memiliki keistimewaan
ditinjau dari sisi hurufnya. Lafadz الله terdiri atas empat huruf, yakni
alif (ا),
lam (ل),
lam (ل),
dan ha (هـ).
Tidak ada satupun yang sama dengan Allah, begitu juga tidak ada nama yang sama
dengan Allah.
Lafadz الله
kalau dibuang hurufnya dari depan, (maknanya) bertambah dekat dengan Allah.
Kamu tidak akan dekat dengan Allah kalau tidak dibuang huruf alifnya (ا) menjadi لله (lillah/karena Allah). Bagaimanapun
seseorang bisa masuk surga jika beramal dengan لله تعالى (lillahi ta’ala).
Lafadz لله
(lillah) jika dihilangkan huruf lam (ل) yang pertama, akan menjadi له (lahu/hanya kepada Allah)”. Ini
namanya Dhamīr Sya-an (ضمير الشأن), istilah orang mengaji. Dhamīr
Sya-an ini (artinya) yang ada hanya Allah semata, selain itu tidak ada. Orang
itu kalau sudah tahu Allah, maka tidak akan tahu kecuali hanya Allah.
Adapun lafadz له
(lahu) jika huruf lam-nya (ل) dihilangkan, maka tersisa هـ (hu) yang bermakna tinggal Allah
semata. Makanya dzikir orang yang sudah jadi Wali Allah bukan lafadz ‘Allah,
Allah..’, tapi ‘Hu, Hu..’. Itulah Dhamīr Sya-an. Seluruh alam ini ada
Asma (nama) yang menunjukkan jika dihilangkan huruf mulai awal akan bertambah
dekat kepada Allah.
Lafadz ‘Hu, Hu..’ diucapkan dengan lisan. Jika dihilangkan ‘Hu’ tersebut,
masuk ke dalam hati. Ini Namanya Dzikir Sirri. Kalau ‘Hu, Hu..’ dengan lisan
masih Dzikir Jahri. Jadi dzikir kepada Allah ada yang Dzikir Sirri ada juga
yang Dzikir Jahri.
Analisis
Nomina
“Allah” (الله)
tersusun dari empat huruf: alif (ا), lam (ل),
lam (ل),
dan ha (ه).
Hamzah washal di atas alif (ٱ) pada artikel definitnya (ال) serta diakritik tambahan seperti syaddah (ّ ) dan alif
khanjariyah (ــٰ) kadang dimunculkan untuk memudahkan pembacaan. Syaddah
ditampilkan untuk menunjukkan bahwa huruf “lam” kedua (ل) mendapatkan tekanan lebih. Sementara itu, alif
khanjariyah ditampilkan untuk menunjukkan bahwa setelah digandakan, lam
kedua ini dipanjangkan pelafazannya. Dalam naskah-naskah Al-Qur’an modern, alif
khanjariyah dapat dituliskan dengan dua gaya: 1) alif tegak dengan
tambahan diakritik fathah; atau 2) alif tegak tanpa tambahan diakritik
fathah. Alif khanjariah ( ألف_خنجرية) adalah tanda baca atau harakat yang dituliskan pada Abjad
Arab sebagai diakritik atau pedoman pembacaan. Harakat ini memiliki makna bahwa
huruf yang berharakat alif khanjariah harus dibaca mad fathah
atau fathah yang dibaca agak panjang. Lihat tautan https://medium.com/@ringgo/linguistik-allah-nomina-adimakna-morfologi-1-3-3be435763e44
|
Ragam fungsi huruf “li” (لِ) sebagai berikut.
1. Huruf “li” (لِ) biasa diterjemahkan: untuk, bagi,
kepada, milik, hendaklah. Misalnya :
“اَلْحَمْدُ
لِلهِ” (Segala pujian adalah
milik Allah).
2. Huruf “li” (لِ) bisa berfungsi sebagai: huruf
jar, huruf nashab, & huruf jazem. Penjelasan terinci di kitab Fahimna dan kitab-kitab Nahwu lainnya.
3. “li” (لِ) berfungsi sebagai huruf jar jika
kata setelahnya berupa isim. Dengan adanya Li, maka Isim
yang terletak setelahnya menjadi Majrur. Di antara cirinya
ialah berharakat akhir Kasrah.
“هَذَا
الْبَيْتُ لِزَيْدٍ” (Rumah ini milik
Si Zaid)
“قُلْتُ
لِحَسَنٍ” (Aku telah berkata kepada
Hasan)
“ذَهَبْتُ
إِلَى الْمَسْجِدِ لِلصَّلَاةِ” (Aku pergi ke masjid untuk
shalat)
4. “li” yang berfungsi sebagai huruf jar bisa bermakna: milik,
kepada, untuk (Lihat kembali contoh di atas). Kita bisa membedakannya
dengan cara memahami konteks kalimatnya terlebih dahulu. Oleh karena itu,
kita harus banyak punya mufradat.
5. “li” (لِ) yang berfungsi sebagai huruf jar,
jika bersambung dengan isim yang beralif-lam, maka huruf alif
dari isim itu harus dibuang. Lihat penjelasannya di Bagian
Pendahuluan dari Kitab Fahimna
Tingkat Pemula.
“لِلهِ” (Milik Allah), asalnya adalah “ل + الله”
“لِلْمُسْلِمِ” (Miliki orang Muslim), asalnya adalah “ل + المسلم”
6. Huruf “li” (لِ) yang berfungsi sebagai huruf jar,
jika bersambung dengan dhamīr (Ingat bahwa dhamīr
termasuk isim mabni), maka harakatnya berubah jadi fathah.
Kecuali, jika bersambung dengan dhamīr mutakallim (kata ganti
orang pertama) harakat “li” tetap kasrah.
“لَهُ” (untuk dia) : dhamīr ghaib (kata ganti orang
ketiga tunggal)
“لَكَ” (untuk kamu) : dhamīr mukhatab (kata ganti orang kedua tunggal)
“لِيْ” (untuk saya) : dhamīr mutakallim (kata ganti orang pertama
tunggal)
7. “li” berfungsi sebagai huruf nashab & huruf
jazem jika kata yang terletak setelahnya berupa fi’il mudhari.
Fi’il mudhari adalah kata kerja (verba) yang merujuk
pada pekerjaan atau peristiwa yang sedang terjadi atau akan terjadi. Dengan
demikian, fiil mudhari menunjukkan zaman sekarang (hal) dan
zaman yang akan datang (istiqbal).
8. Jika “li” berfungsi sebagai huruf
nashab, maka fi’il mudhari yang terletak setelahnya menjadi
manshub. Di antara cirinya ialah dengan diberi harakat
fathah. Biasanya Li huruf nashab diterjemahkan “untuk
atau agar”
“اِسْأَلْ
لِتَفْهَمَ الدَّرْسَ” (Bertanyalah agar
engkau faham pelajaran itu)
9. Jika “li” berfungsi
sebagai huruf jazem, maka fi’il mudhari yang terletak
setelahnya menjadi majzum. Di antara cirinya ialah dengan
diberi harakat sukun. Biasanya li huruf jazem
diterjemahkan “hendaklah”. Huruf “li” ini biasanya juga dinamakan huruf
lam amr, yaitu huruf lam yang berfungsi untuk
memerintah. Dan biasanya bersambung denga huruf fa (yang artinya
: maka). Jika bersambung sebelumnya dengan huruf fa,
maka harakat “li” berubah jadi sukun.
“لِيُنْفِقْ
ذُوْ مَالٍ” (hendaklah berinfaq
orang yang memiliki harta)
“إِذَا
غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ” (Jika salah seorang
dari kalian marah, hendaklah dia diam!)
Huruf “li” sering kita jumpai dalam teks berbahasa
Arab. Oleh sebab itu, kita perlu memahami penjelasan tersebut di atas dengan
baik. Selanjutnya, kita pelajari dan pahami penerapannya di dalam Al-Qur’an, Al-Hadits,
dan kitab ulama yang jadi referensi. Tautan https://pustakalaka.wordpress.com/2013/04/04/catatan-ilmu-nahwu-2-tentang-huruf-li/ dengan penyuntingan.
|
Makna Lafadz لله (lillah) dan
makna lafad له : lillah dan lahu
berbeda /hanya kepada Allah)”. Ini namanya Dhamīr Sya-an (ضمير الشأن), yang artinya yang ada hanya
Allah semata.
Dhamīr Syaan adalah
dhamīr yang tidak kembali ke pembahasan sebelumnya, tidak
seperti dhamīr pada umumnya memiliki tempat kembali.
Secara bahasa, dhamīr berarti: yang
tersembunyi, rahasia, dan perasaan. Sedangkan menurut istilah, dhamīr berarti: isim
(kata benda, nomina, noun) yang disebut sebagai ibarat (kata ganti)
dari mutakallim (pembicara), mukhāthab(lawan bicara),
dan ghāib(yang dibicarakan). Dalam bahasa Arab, dhamīr terbagi
menjadi tujuh bagian: muttashil (bersambung), munfashil (terpisah),
bāriz (tampak), mustatir (tersembunyi), marfū`, manshūb dan majrūr.
Dhamīr (kata
ganti, pronomina) adalah kata
ganti orang atau
benda. Artinya, nama
orang/benda dapat digantikan dengan kata
ini. Baik orang/benda itu berada atau tidak
ada. Dalam bahasa
Indonesia kita mengenal
saya, kamu, dia ,
kalian, kita, kami.
Sedangkan dalam bahasa Inggris kita mengenal : i,you, he, she, they,
we, it.
Dalam bahasa Arab terdapat 14 dhamīr.
Mengapa lebih banyak? Karena, bahasa Arab adalah bahasa yang paling lengkap
sastranya, selain itu bahasa Arab mengenal
jumlah 1, 2
dan jamak. Sedangkan
bahasa Indonesia hanya
mengenal tunggal dan jamak, demikian pula bahasa Inggris.
Dhamīr,
terbagi menjadi 3 yaitu :
Dhamīr Munfashil/Dhamīr yg
terpisah adalah Dhamīr, yang berpisah dengan kata benda,
maksudnya ia tidak
bersatu/bergandeng dengan kata
benda lainnya. Dalam
bahasa Indonesia kita biasanya
menyebutnya sebagai Subjek
dan diletakkan sebelum
kata benda. Misal : Saya Muhammad., Kata Saya, itu
adalah Dhamīr.
Dhamīr Muttashil/Dhamīr yang
tersambung
Dhamīr Mustatir/Dhamīr yang
tersembunyi
https://pdfcoffee.com/dhamīr-pdf-free.html
http://amoehirata.blogspot.com/2015/03/kaidah-ilmu-al-quran-dhamīrkata-ganti.html
Bahasa Arab memiliki kesadaran gender pada
konstruksi bahasanya (gender centric). Artinya, segala sesuatu dalam
bahasa arab memiliki jenis kelamin. Bukan hanya orang, hewan dan
tumbuhan, tapi juga benda. Padahal benda tidak memiliki identitas
kelamin. Semua kosa kata Bahasa Arab memiliki gender tanpa kecuali.
Gelas, kursi, meja, papan tulis, piring, sendok, televisi,
dan sebagainya memiliki jenis kelamin majazy (jenis kelamin konotatif).
Gender dalam Bahasa Arab terbagi menjadi dua, yaitu male
: mudzakkar مذكر dan female : mu'annats مؤنث
Gender untuk hal-hal yang sebetulnya tak berkelamin
disebut sebagai mudzakkar majazy atau muannats majazy.
Sedangkan untuk orang, yang betul-betul memiliki kelamin disebut dengan mudzakkar
haqiqy atau muannats haqiqy.
Allah dalam hija'iyah tulisannya seperti ini →الله
Dalam ilmu simbol (Semiotika) tidak ditemukan tanda
gender perempuan / alamatut ta'nits (علامة التأنيث ) pada lafadz “Allah”. Oleh sebab itu
lafadz “Allah” menggunakan kata ganti "he" atau dalam pronoun
bahasa arab disebut huwa/ هو (dia
laki-laki), dalam dhamīr muttashil ( pronoun
yang menempel) disebut "hu"/ه.
Penisbatan Allah dengan gender lelaki bukan
bersifat denotatif (haqiqy), tapi konotatif (mudzakkar majazy).
Gender laki-laki yang bukan sebenarnya.
Tautan https://id.quora.com/Mengapa-kata-ganti-untuk-Allah-dalam-bahasa-Arab-selalu-menggunakan-kata-yang-bergender-lelaki-contohnya-anta-huwa-hu-engkau-dia-nya
|
Makna lafadz له
(lahu) dan makna lafad هـ (hu) berbeda : lahu
dan hu berbeda.
|
Lafadz ‘Hu, Hu..’ diucapkan dengan lisan. Jika dihilangkan ‘Hu’ tersebut,
masuk ke dalam hati. Ini Namanya Dzikir Sirri. Kalau ‘Hu, Hu..’ dengan lisan
masih Dzikir Jahri. Jadi dzikir kepada Allah ada yang Dzikir Sirri ada juga
yang Dzikir Jahri.
Istilah /dhamīr/ dalam tatabahasa Indonesia disebut
/kata ganti/ atau /pronomina/. Kata /hu/ termasuk kata ganti orang ketiga
tunggal yang berarti /ia/ atau /nya/.
Penggunaan kata ganti /ia/ atau /nya/ merupakan objek atau subjek
yang dibicarakan. Dalam percakapan hanya terjadi pada kata ganti orang
pertama dan kata ganti orang kedua. Jadi kata ganti /ia/ atau /nya/
menunjukkan objek yang tidak pernah terlibat dalam percakapan.
|
Dzikir Hu Tidak Menghadap Allah
Penggunaan kata ganti orang ketiga (hu, ia, nya) menunjukkan bahwa aku dan
ia tidak berhadapan.
Aku dan Kau (Ana wa Anta)
Dialog terjadi antara aku dan kau atau ana wa anta.
Mencermati
Doa Nabi Yunus alaihissalaam
La ilaha illa anta subhanaka inni
kuntu minazhzhalimin adalah lafal dzikir sekaligus doa yang dibaca oleh Nabi
Yunus. Ia seorang nabi dari agama Samawi yang dikenal membaca dzikir la ilaha
illa anta subhanaka inni kuntu minadzolimin berturut-turut untuk memohon
pertolongan dari Allah SWT (tuhannya) agar diangkat masalah hidupnya.
Doa Nabi Yunus Arab:
لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنْتَ
سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
Lailaha illa
Anta subhanaka inni kuntu minazhzhalimin
Artinya Doa Nabi Yunus:
"Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha
Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim."
Nabi Yunus diberi tugas oleh Allah berdakwah
kepada orang Assyiria di Ninawa-Iraq. Suatu kaum yang keras kepala, penyembah
berhala, dan suka melakukan kejahatan. Meski sudah berulang kali Yunus
memperingatkan mereka, tetapi mereka tidak mau berubah. Orang-orang ini bukan
dari kaum Nabi Yunus sehingga membuatnya tidak mau bersabar berdakwah untuk
mereka.
Nama Nabi Yunus disebutkan sebanyak 6 kali di
dalam Al-Qur'an. Kisah yang digambarkan itu, membuat kehidupan Nabi Yunus
menjadi penuh dengan keputusasaan dan merasa sangat berdosa. Ia melakukan
pengembaraan dan suatu ketika memutuskan menunggangi kapal, tetapi justru Nabi
Yunus yang mendapat undian harus disingkirkan dari kapal dan dilempar ke laut
lepas.
Pada masa itu setelah bertahun-tahun
berdakwah, Nabi Yunus merasa putus asa karena kaumnya selalu menentang dan
tidak mau beriman. Ia pun berdoa kepada Allah agar menurunkan azab pada
kaumnya.
Kemudian, Nabi Yunus memberitahukan kepada
kaumnya bahwa azab Allah akan datang tiga hari lagi. Nabi Yunus pun pergi
berlayar meninggalkan kaumnya untuk mencari kaum lain yang mau mendengar
seruannya. Di tengah perjalanan, kapal yang ditumpangi Nabi Yunus terkena badai
dan hampir tenggelam. Nahkoda memberitahukan bahwa harus ada yang dilempar ke
laut untuk mengurangi beban kapal.
Penumpang di kapal melakukan undian dan nama
Nabi Yunus keluar sebanyak 3 kali. Nabi Yunus akhirnya menceburkan diri ke laut,
lalu Allah memerintahkan ikan paus untuk menelannya.
Lafal “laa ilaha illa anta subhanaka
inni kuntu minazhzhalimin” adalah dzikir yang disebut pula doa Dzun
Nuun. Lafal ini menunjukkan pengakuan tauhid dari Nabi Yunus dengan mengakui
bahwa diri beliau termasuk golongan orang yang zhalim. Beliau menyadari bahwa
beliau ditaqdirkan untuk hidup selama beberapa hari di dalam perut ikan paus
setelah dilempar ke laut. Tentu beliau memohon kepada Allah agar kesulitan
hidupnya diangkat oleh Allah.
Dikisahkan pula bahwa selama 40 hari berada
di dalam perut ikan paus, Nabi Yunus dengan kesungguhan terus-menerus berdzikir
laa ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minazhzhalimin dan memohon
ampun kepada Allah. Sampai pada akhirnya, Allah menerima taubatnya dan
memerintahkan ikan paus untuk memuntahkannya ke daratan.
Mencermati Doa Antassalaam Sesudah Shalat
اَللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ
وَإِلَيْكَ يَعُوْدُ السَّلاَمُ فَحَيِّنَا رَبَّنَا بِالسَّلاَمِ وَأَدْخِلْنَا
الْجَنَّةَ دَارَ السَّلاَمِ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ يَا ذَالْجَلاَلِ
وَالْأِ كْرَامِ
Allahumma antassalam, wa minkassalam, wa ilaika
ya'uudussalam, fahayyina robbana bissalam, wa adkhilnal jannata daarassalam,
tabarakta rabbana wa ta'aalayta, yaa dzal jalaali wal ikram.
Artinya, "Ya Allah, Engkau adalah Dzat yang
mempunyai kesejahteraan, dari-Mu kesejahteraan itu, kepada-Mu akan kembali lagi
segala kesejahteraan itu, Ya Tuhan kami, hidupkanlah kami dengan sejahtera.
Masukanlah kami ke dalam surga kampung kesejahteraan. Engkaulah yang berkuasa
memberi berkah yang banyak dan Engkaulah Yang Maha Tinggi, wahai Dzat yang
memiliki keagungan dan kemuliaan."
Melakukan dzikir setelah selesai shalat menjadi amalan sunnah yang
disukai Allah. Oleh karena itulah, sebaiknya setelah selesai melaksanakan shalat,
kita tidak ketinggalan untuk berdoa dan berdzikir agar ibadahnya menjadi lebih.
Salah satu dzikir yang tidak asing bagi umat muslim adalah doa allahumma
antassalam.
Adapun dzikir doa “Allahumma antassalam”
sudah dijelaskan dalam Hadits Riwayat Muslim yang berbunyi sebagai berikut.
حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ، حَدَّثَنَا
الْوَلِيدُ، عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ، عَنْ أَبِي عَمَّارٍ، اسْمُهُ شَدَّادُ بْنُ
عَبْدِ اللهِ، عَنْ أَبِي أَسْمَاءَ، عَنْ ثَوْبَانَ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلَاتِهِ اسْتَغْفَرَ
ثَلَاثًا وَقَالَ: «اللهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ، تَبَارَكْتَ
ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ» قَالَ الْوَلِيدُ: فَقُلْتُ لِلْأَوْزَاعِيِّ: ”
كَيْفَ الْاسْتِغْفَارُ؟ قَالَ: تَقُولُ: أَسْتَغْفِرُ اللهَ، أَسْتَغْفِرُ اللهَ “
Artinya, “Rasulullah setelah selesai dari shalatnya
beliau membaca istighfar sebanyak tiga kali, lalu mengucapkan ‘Allahumma
antassalam wa minkassalam tabarakta yaa dzal jalali wal ikram.’”
Dengan rutin membaca doa Allahumma
antassalam, maka kita
akan mendapatkan hikmah yang luar biasa dari Allah SWT. Hal ini karena kita
akan senantiasa mengingat Allah SWT ketika sedang berdzikir.
Mencermati
Doa Kafaratul Majelis
Usai mengikuti penyelenggaraan suatu acara, kita
dianjurkan membaca doa penutup yang kita kenal sebagai doa karatatul majlis.
Doa ini menunjukkan ungkapan syukur kepada Allah atas terselenggaranya acara
yang dimaksud dari awal, proses, sampai akhir dengan baik tanpa ada halangan
sedikitpun.
Subhaanakallaahumma
wa bihamdika, asyhadu al-laa ilaaha illaa anta, astaghfiruka, wa atuubu ilaik.
Artinya: "Maha Suci Engkau ya Allah, aku memuji-Mu.
Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau,
aku minta ampun dan bertobat kepada-Mu."(Hadits Riwayat Ashhaabus
Sunan dan lihat Shahih At-Tirmidzi 3/153.)
Dengan memperhatikan kata ganti orang pertama “aku”
sebagai dhamīr mutakallim , doa kafaratul majlis ini dianjurkan untuk
dibaca oleh masing-masing peserta yang hadir.
Allah Itu Jauh ataukah Dekat?
Suatu hari, seorang
Arab pegunungan (badui) meminta izin untuk bertemu dengan Rasulullah SAW. Nabi
Muhammad SAW kemudian menerimanya. Setelah itu, si badui bertanya, "Wahai
Rasulullah, katakanlah kepadaku, apakah Tuhan kita jauh atau dekat?"
Mendengar pertanyaan
itu, Nabi SAW diam sejenak. Beliau kemudian bertanya balik kepada si badui.
"Apa maksudmu dengan pertanyaan itu?"
"Begini, ya Rasulullah," jawab dia,
"Kalau Tuhan itu dekat, aku cukup berdoa dengan suara berbisik kepada-Nya.
Akan tetapi, bila Tuhan itu jauh, aku akan berteriak dengan suara keras saat
berdoa kepada-Nya."
Rasul SAW pun kembali terdiam. Inilah salah
satu contoh teladan Nabi SAW, yakni hendaknya tidak terburu-buru menjawab
pertanyaan, apalagi tanpa adanya petunjuk. Dalam hal ini, beliau ingin
menjawab, tetapi dengan kata-kata yang sampai pada daya tangkap si badui.
Tiba-tiba, wahyu turun kepada Nabi SAW. "Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka
sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia
berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman
kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran" (QS Al-Baqarah 2:186).
Ayat tersebut di atas membimbing kita untuk
mengambil hikmahnya yaitu adab dalam berdoa. Pertama, kita yakin bahwa Allah
itu dekat, yang ditandai dengan kita percaya bahwa Allah Mahamendengar dan akan
mengabulkan doa kita. Kedua, kita berusaha istiqamah dalam melaksanakan
ketaatan yang telah Allah perintahkan. Ketiga, kita berusaha istiqamah dengan teguh
beriman kepada Allah .
Tautan https://islamdigest.republika.co.id/berita/q827ox458/ketika-nabi-muhammad-ditanya-allah-jauh-atau-dekat
Berdzikir dan Berdoa Mengikuti
Ajaran Nabi Muhammad SAW
Di ranah tasawuf (tarekat sufi) terdapat
beragam metode zikir yang diajarkan oleh para mursyid/syeikh sufi kepada para
muridnya. Banyak tingkatan zikir dan cara menerapkannya yang bertujuan untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Salah seorang ulama sufi mengatakan bahwa apapun
tarekatnya ada 3 metode zikir : 1. Zikir jasad yaitu zikir dengan kalimat Laa
ilaaha illallaah, 2. Zikir hati/ruh yaitu zikir dengan kalimat Hu Allah,
dan 3. Zikir sirr/nurani yaitu zikir dengan kalimat Hu. Dari ketiga
metode zikir tersebut tidak ada yang melebihi atau lebih utama dari yang lain
kecuali kalimat Laa ilaaha illallaah sesuai dengan sabda nabi.
Klausa tersebut di atas menunjukkan bahwa
berzikir yang sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW adalah kalimat “laa
ilaaha illallaah”. Sedangkan 2 metode yang disebutkan sebagai zikir hati
dan zikir sirr merupakan metode asumsi (metode rekayasa, metode modifikasi)
yang jauh dari kaidah nahwu sharaf (sintaksis dan morfologi).
Tautan https://rumaysha.com/17107-dzikir-paling-utama-laa-ilaha-illallah.html
Pangkur-Ngawi, 22 Mei 2024 M / 14 Dzulqa’idah 1445 H Pukul 18.46
WIB
*) Penulis adalah
Budayawan/Penasihat GPMB Ngawi bertempat tinggal di Desa Pangkur, Kecamatan
Pangkur, Ngawi dan Pengurus PCM Pangkur