Media Pustaka, Informasi dan Digitalisasi

Rabu, 17 Juli 2024

“Dzikir Hu”, Hu Itu Siapa? Esai Kusfandiari MM Abu Nidhat


Satu hadits menyebutkan :

وَعَنْ جَابِرٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، يَقُوْلُ : (( أَفْضَلُ الذِّكْرِ : لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ )) . رَوَاهُ التِّرْمِذِي ، وَقَالَ : (( حَدِيْثٌ حَسَنٌ ))

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dzikir yang paling utama adalah laa ilaha illallah (tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah).” (Hadits Riwayat Tirmidzi, ia menyatakan bahwa hadits ini hasan) [Hadits Riwayat Tirmidzi, nomor 3383. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan].

Bagaimana halnya dengan “Dzikir Hu”?

Salah seorang pakar dzikir yang juga ahli thariqat memberikan penjelasan yang cukup panjang, sebagai berikut. “Lafadz الله ternyata memiliki keistimewaan ditinjau dari sisi hurufnya. Lafadz الله terdiri atas empat huruf, yakni alif (ا), lam (ل), lam (ل), dan ha (هـ). Tidak ada satupun yang sama dengan Allah, begitu juga tidak ada nama yang sama dengan Allah.

Lafadz الله kalau dibuang hurufnya dari depan, (maknanya) bertambah dekat dengan Allah. Kamu tidak akan dekat dengan Allah kalau tidak dibuang huruf alifnya (ا) menjadi لله (lillah/karena Allah). Bagaimanapun seseorang bisa masuk surga jika beramal dengan لله تعالى (lillahi ta’ala).

Lafadz لله (lillah) jika dihilangkan huruf lam (ل) yang pertama, akan menjadi له (lahu/hanya kepada Allah)”. Ini namanya Dhamīr Sya-an (ضمير الشأن), istilah orang mengaji. Dhamīr Sya-an ini (artinya) yang ada hanya Allah semata, selain itu tidak ada. Orang itu kalau sudah tahu Allah, maka tidak akan tahu kecuali hanya Allah.

Adapun lafadz له (lahu) jika huruf lam-nya (ل) dihilangkan, maka tersisa هـ (hu) yang bermakna tinggal Allah semata. Makanya dzikir orang yang sudah jadi Wali Allah bukan lafadz ‘Allah, Allah..’, tapi ‘Hu, Hu..’. Itulah Dhamīr Sya-an. Seluruh alam ini ada Asma (nama) yang menunjukkan jika dihilangkan huruf mulai awal akan bertambah dekat kepada Allah.

Lafadz ‘Hu, Hu..’ diucapkan dengan lisan. Jika dihilangkan ‘Hu’ tersebut, masuk ke dalam hati. Ini Namanya Dzikir Sirri. Kalau ‘Hu, Hu..’ dengan lisan masih Dzikir Jahri. Jadi dzikir kepada Allah ada yang Dzikir Sirri ada juga yang Dzikir Jahri.

Analisis

Nomina “Allah” (الله) tersusun dari empat huruf: alif (ا), lam (ل), lam (ل), dan ha (ه). Hamzah washal di atas alif (ٱ) pada artikel definitnya (ال) serta diakritik tambahan seperti syaddah (ّ ) dan alif khanjariyah (ــٰ) kadang dimunculkan untuk memudahkan pembacaan. Syaddah ditampilkan untuk menunjukkan bahwa huruf “lam” kedua (ل) mendapatkan tekanan lebih. Sementara itu, alif khanjariyah ditampilkan untuk menunjukkan bahwa setelah digandakan, lam kedua ini dipanjangkan pelafazannya. Dalam naskah-naskah Al-Qur’an modern, alif khanjariyah dapat dituliskan dengan dua gaya: 1) alif tegak dengan tambahan diakritik fathah; atau 2) alif tegak tanpa tambahan diakritik fathah. Alif khanjariah ( ألف_خنجرية) adalah tanda baca atau harakat yang dituliskan pada Abjad Arab sebagai diakritik atau pedoman pembacaan. Harakat ini memiliki makna bahwa huruf yang berharakat alif khanjariah harus dibaca mad fathah atau fathah yang dibaca agak panjang. Lihat tautan https://medium.com/@ringgo/linguistik-allah-nomina-adimakna-morfologi-1-3-3be435763e44

Ragam fungsi huruf “li” (لِ) sebagai berikut.

1. Huruf “li” (لِ) biasa diterjemahkan: untuk, bagi, kepada, milik, hendaklah. Misalnya :

اَلْحَمْدُ لِلهِ” (Segala pujian adalah milik Allah).

2. Huruf “li” (لِ) bisa berfungsi sebagai: huruf jar, huruf nashab, & huruf jazem. Penjelasan terinci di kitab Fahimna dan kitab-kitab Nahwu lainnya.

3. “li” (لِ) berfungsi sebagai huruf jar jika kata setelahnya berupa isim. Dengan adanya Li, maka Isim yang terletak setelahnya menjadi Majrur. Di antara cirinya ialah berharakat akhir Kasrah.

هَذَا الْبَيْتُ لِزَيْدٍ” (Rumah ini milik Si Zaid)

قُلْتُ لِحَسَنٍ” (Aku telah berkata kepada  Hasan)

ذَهَبْتُ إِلَى الْمَسْجِدِ لِلصَّلَاةِ” (Aku pergi ke masjid untuk shalat)

4. “li” yang berfungsi sebagai huruf jar bisa bermakna: milik, kepada, untuk (Lihat kembali contoh di atas). Kita bisa membedakannya dengan cara memahami konteks kalimatnya terlebih dahulu. Oleh karena itu, kita harus banyak punya mufradat.

5. “li” (لِ) yang berfungsi sebagai huruf jar, jika bersambung dengan isim yang beralif-lam, maka huruf alif dari isim itu harus dibuang. Lihat penjelasannya di Bagian Pendahuluan dari Kitab Fahimna Tingkat Pemula.

لِلهِ” (Milik Allah), asalnya adalah “ل + الله

لِلْمُسْلِمِ” (Miliki orang Muslim), asalnya adalah “ل + المسلم

6. Huruf “li” (لِ)  yang berfungsi sebagai huruf jar, jika bersambung dengan dhamīr (Ingat bahwa dhamīr termasuk isim mabni), maka harakatnya berubah jadi fathah. Kecuali, jika bersambung dengan dhamīr mutakallim (kata ganti orang pertama) harakat “li” tetap kasrah.

لَهُ” (untuk dia) : dhamīr ghaib (kata ganti orang ketiga tunggal)

لَكَ” (untuk kamu) : dhamīr mukhatab (kata ganti orang kedua tunggal)

لِيْ” (untuk saya) : dhamīr mutakallim (kata ganti orang pertama tunggal)

7. “li” berfungsi sebagai huruf nashab & huruf jazem jika kata yang terletak setelahnya berupa fi’il mudhari. Fi’il mudhari adalah kata kerja (verba) yang merujuk pada pekerjaan atau peristiwa yang sedang terjadi atau akan terjadi. Dengan demikian, fiil mudhari menunjukkan zaman sekarang (hal) dan zaman yang akan datang (istiqbal).
8. Jika “li”  berfungsi sebagai huruf nashab, maka fi’il mudhari yang terletak setelahnya menjadi manshub. Di antara cirinya ialah dengan diberi harakat fathah. Biasanya Li huruf nashab diterjemahkan “untuk atau agar

اِسْأَلْ لِتَفْهَمَ الدَّرْسَ” (Bertanyalah agar engkau faham pelajaran itu)

9. Jika “li”  berfungsi sebagai huruf jazem, maka fi’il mudhari yang terletak setelahnya menjadi majzum. Di antara cirinya ialah dengan diberi harakat sukun. Biasanya li huruf jazem diterjemahkan “hendaklah”. Huruf “li” ini biasanya juga dinamakan huruf lam amr, yaitu huruf lam yang berfungsi untuk memerintah. Dan biasanya bersambung denga huruf fa (yang artinya : maka). Jika bersambung sebelumnya dengan huruf fa, maka harakat “li” berubah jadi sukun.

لِيُنْفِقْ ذُوْ مَالٍ” (hendaklah berinfaq orang yang memiliki harta)

إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ” (Jika salah seorang dari kalian marah, hendaklah dia diam!)

Huruf “li” sering kita jumpai dalam teks berbahasa Arab. Oleh sebab itu, kita perlu memahami penjelasan tersebut di atas dengan baik. Selanjutnya, kita pelajari dan pahami  penerapannya di dalam Al-Qur’an, Al-Hadits, dan kitab ulama yang jadi referensi. Tautan https://pustakalaka.wordpress.com/2013/04/04/catatan-ilmu-nahwu-2-tentang-huruf-li/ dengan penyuntingan.

Makna Lafadz لله (lillah) dan makna lafad  له  : lillah dan lahu berbeda /hanya kepada Allah)”. Ini namanya Dhamīr Sya-an (ضمير الشأن), yang artinya yang ada hanya Allah semata.  

Dhamīr Syaan adalah dhamīr yang tidak kembali ke pembahasan sebelumnya, tidak seperti  dhamīr pada umumnya memiliki tempat kembali. Secara bahasa, dhamīr berarti: yang tersembunyi, rahasia, dan perasaan. Sedangkan menurut istilah, dhamīr berarti: isim (kata benda, nomina, noun) yang disebut sebagai ibarat (kata ganti) dari mutakallim (pembicara), mukhāthab(lawan bicara), dan ghāib(yang dibicarakan). Dalam bahasa Arab, dhamīr terbagi menjadi tujuh bagian: muttashil (bersambung), munfashil (terpisah), bāriz (tampak), mustatir (tersembunyi), marfū`, manshūb dan majrūr.

Dhamīr (kata  ganti, pronomina)  adalah  kata   ganti  orang  atau  benda.   Artinya,  nama

orang/benda dapat digantikan dengan kata ini. Baik orang/benda itu berada atau tidak  ada.  Dalam  bahasa  Indonesia  kita  mengenal  saya,  kamu,  dia ,  kalian,  kita, kami. Sedangkan dalam bahasa Inggris kita mengenal : i,you, he, she, they, we, it.

Dalam bahasa Arab terdapat 14 dhamīr. Mengapa lebih banyak? Karena, bahasa Arab adalah bahasa yang paling lengkap sastranya, selain itu bahasa Arab mengenal  jumlah  1,  2  dan  jamak.  Sedangkan  bahasa  Indonesia  hanya  mengenal tunggal dan jamak, demikian pula bahasa Inggris.

Dhamīr,  terbagi menjadi 3 yaitu :

Dhamīr Munfashil/Dhamīr yg terpisah adalah Dhamīr, yang berpisah dengan kata benda, maksudnya ia tidak  bersatu/bergandeng  dengan  kata  benda  lainnya.  Dalam  bahasa  Indonesia kita  biasanya  menyebutnya  sebagai  Subjek  dan  diletakkan  sebelum  kata  benda.  Misal : Saya Muhammad., Kata Saya, itu adalah Dhamīr.

Dhamīr Muttashil/Dhamīr yang tersambung

Dhamīr Mustatir/Dhamīr yang tersembunyi

 

https://pdfcoffee.com/dhamīr-pdf-free.html

http://amoehirata.blogspot.com/2015/03/kaidah-ilmu-al-quran-dhamīrkata-ganti.html

Bahasa Arab memiliki kesadaran gender pada konstruksi bahasanya (gender centric). Artinya, segala sesuatu dalam bahasa arab memiliki jenis kelamin. Bukan hanya orang, hewan dan tumbuhan, tapi juga benda. Padahal benda tidak memiliki identitas kelamin. Semua kosa kata Bahasa Arab memiliki gender tanpa kecuali.

Gelas, kursi, meja, papan tulis, piring, sendok, televisi, dan sebagainya memiliki jenis kelamin majazy (jenis kelamin konotatif).

Gender dalam Bahasa Arab terbagi menjadi dua, yaitu malemudzakkar مذكر dan femalemu'annats مؤنث

Gender untuk hal-hal yang sebetulnya tak berkelamin disebut sebagai mudzakkar majazy atau muannats majazy. Sedangkan untuk orang, yang betul-betul memiliki kelamin disebut dengan mudzakkar haqiqy atau muannats haqiqy.

Allah dalam hija'iyah tulisannya seperti ini →الله

Dalam ilmu simbol (Semiotika) tidak ditemukan tanda gender perempuan / alamatut ta'nits (علامة التأنيث ) pada lafadz “Allah”. Oleh sebab itu lafadz “Allah” menggunakan kata ganti "he" atau dalam pronoun bahasa arab disebut huwa/ هو (dia laki-laki), dalam dhamīr muttashil ( pronoun yang menempel) disebut "hu"/ه.

Penisbatan Allah dengan gender lelaki bukan bersifat denotatif (haqiqy), tapi konotatif (mudzakkar majazy). Gender laki-laki yang bukan sebenarnya.

Tautan https://id.quora.com/Mengapa-kata-ganti-untuk-Allah-dalam-bahasa-Arab-selalu-menggunakan-kata-yang-bergender-lelaki-contohnya-anta-huwa-hu-engkau-dia-nya

Makna lafadz له (lahu) dan makna lafad  هـ (hu) berbeda : lahu dan hu berbeda.

Lafadz ‘Hu, Hu..’ diucapkan dengan lisan. Jika dihilangkan ‘Hu’ tersebut, masuk ke dalam hati. Ini Namanya Dzikir Sirri. Kalau ‘Hu, Hu..’ dengan lisan masih Dzikir Jahri. Jadi dzikir kepada Allah ada yang Dzikir Sirri ada juga yang Dzikir Jahri.

Istilah /dhamīr/ dalam tatabahasa Indonesia disebut /kata ganti/ atau /pronomina/. Kata /hu/ termasuk kata ganti orang ketiga tunggal yang berarti /ia/ atau /nya/.

Penggunaan kata ganti /ia/ atau /nya/ merupakan objek atau subjek yang dibicarakan. Dalam percakapan hanya terjadi pada kata ganti orang pertama dan kata ganti orang kedua. Jadi kata ganti /ia/ atau /nya/ menunjukkan objek yang tidak pernah terlibat dalam percakapan.

 

Dzikir Hu Tidak Menghadap Allah

Penggunaan kata ganti orang ketiga (hu, ia, nya) menunjukkan bahwa aku dan ia tidak berhadapan.

Aku dan Kau (Ana wa Anta)

Dialog terjadi antara aku dan kau atau ana wa anta.

Mencermati Doa Nabi Yunus alaihissalaam

La ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minazhzhalimin adalah lafal dzikir sekaligus doa yang dibaca oleh Nabi Yunus. Ia seorang nabi dari agama Samawi yang dikenal membaca dzikir la ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadzolimin berturut-turut untuk memohon pertolongan dari Allah SWT (tuhannya) agar diangkat masalah hidupnya.

Doa Nabi Yunus Arab:

لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ

Lailaha illa Anta subhanaka inni kuntu minazhzhalimin

Artinya Doa Nabi Yunus:

"Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim."

Nabi Yunus diberi tugas oleh Allah berdakwah kepada orang Assyiria di Ninawa-Iraq. Suatu kaum yang keras kepala, penyembah berhala, dan suka melakukan kejahatan. Meski sudah berulang kali Yunus memperingatkan mereka, tetapi mereka tidak mau berubah. Orang-orang ini bukan dari kaum Nabi Yunus sehingga membuatnya tidak mau bersabar berdakwah untuk mereka.

Nama Nabi Yunus disebutkan sebanyak 6 kali di dalam Al-Qur'an. Kisah yang digambarkan itu, membuat kehidupan Nabi Yunus menjadi penuh dengan keputusasaan dan merasa sangat berdosa. Ia melakukan pengembaraan dan suatu ketika memutuskan menunggangi kapal, tetapi justru Nabi Yunus yang mendapat undian harus disingkirkan dari kapal dan dilempar ke laut lepas.

Pada masa itu setelah bertahun-tahun berdakwah, Nabi Yunus merasa putus asa karena kaumnya selalu menentang dan tidak mau beriman. Ia pun berdoa kepada Allah agar menurunkan azab pada kaumnya.

Kemudian, Nabi Yunus memberitahukan kepada kaumnya bahwa azab Allah akan datang tiga hari lagi. Nabi Yunus pun pergi berlayar meninggalkan kaumnya untuk mencari kaum lain yang mau mendengar seruannya. Di tengah perjalanan, kapal yang ditumpangi Nabi Yunus terkena badai dan hampir tenggelam. Nahkoda memberitahukan bahwa harus ada yang dilempar ke laut untuk mengurangi beban kapal.

Penumpang di kapal melakukan undian dan nama Nabi Yunus keluar sebanyak 3 kali. Nabi Yunus akhirnya menceburkan diri ke laut, lalu Allah memerintahkan ikan paus untuk menelannya.

Lafal “laa ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minazhzhalimin” adalah dzikir yang disebut pula doa Dzun Nuun. Lafal ini menunjukkan pengakuan tauhid dari Nabi Yunus dengan mengakui bahwa diri beliau termasuk golongan orang yang zhalim. Beliau menyadari bahwa beliau ditaqdirkan untuk hidup selama beberapa hari di dalam perut ikan paus setelah dilempar ke laut. Tentu beliau memohon kepada Allah agar kesulitan hidupnya diangkat oleh Allah.

Dikisahkan pula bahwa selama 40 hari berada di dalam perut ikan paus, Nabi Yunus dengan kesungguhan terus-menerus berdzikir laa ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minazhzhalimin dan memohon ampun kepada Allah. Sampai pada akhirnya, Allah menerima taubatnya dan memerintahkan ikan paus untuk memuntahkannya ke daratan.

Mencermati Doa Antassalaam Sesudah Shalat

اَللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ وَإِلَيْكَ يَعُوْدُ السَّلاَمُ فَحَيِّنَا رَبَّنَا بِالسَّلاَمِ وَأَدْخِلْنَا الْجَنَّةَ دَارَ السَّلاَمِ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ يَا ذَالْجَلاَلِ وَالْأِ كْرَامِ

Allahumma antassalam, wa minkassalam, wa ilaika ya'uudussalam, fahayyina robbana bissalam, wa adkhilnal jannata daarassalam, tabarakta rabbana wa ta'aalayta, yaa dzal jalaali wal ikram.

Artinya, "Ya Allah, Engkau adalah Dzat yang mempunyai kesejahteraan, dari-Mu kesejahteraan itu, kepada-Mu akan kembali lagi segala kesejahteraan itu, Ya Tuhan kami, hidupkanlah kami dengan sejahtera. Masukanlah kami ke dalam surga kampung kesejahteraan. Engkaulah yang berkuasa memberi berkah yang banyak dan Engkaulah Yang Maha Tinggi, wahai Dzat yang memiliki keagungan dan kemuliaan."

Melakukan dzikir setelah selesai shalat menjadi amalan sunnah yang disukai Allah. Oleh karena itulah, sebaiknya setelah selesai melaksanakan shalat, kita tidak ketinggalan untuk berdoa dan berdzikir agar ibadahnya menjadi lebih. Salah satu dzikir yang tidak asing bagi umat muslim adalah doa allahumma antassalam.

Adapun dzikir doa “Allahumma antassalam” sudah dijelaskan dalam Hadits Riwayat Muslim yang berbunyi sebagai berikut.

حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ، عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ، عَنْ أَبِي عَمَّارٍ، اسْمُهُ شَدَّادُ بْنُ عَبْدِ اللهِ، عَنْ أَبِي أَسْمَاءَ، عَنْ ثَوْبَانَ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلَاتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلَاثًا وَقَالَ: «اللهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ، تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ» قَالَ الْوَلِيدُ: فَقُلْتُ لِلْأَوْزَاعِيِّ: ” كَيْفَ الْاسْتِغْفَارُ؟ قَالَ: تَقُولُ: أَسْتَغْفِرُ اللهَ، أَسْتَغْفِرُ اللهَ

Artinya, “Rasulullah setelah selesai dari shalatnya beliau membaca istighfar sebanyak tiga kali, lalu mengucapkan ‘Allahumma antassalam wa minkassalam tabarakta yaa dzal jalali wal ikram.’”

Dengan rutin membaca doa Allahumma antassalam, maka kita akan mendapatkan hikmah yang luar biasa dari Allah SWT. Hal ini karena kita akan senantiasa mengingat Allah SWT ketika sedang berdzikir.

Mencermati Doa Kafaratul Majelis

Usai mengikuti penyelenggaraan suatu acara, kita dianjurkan membaca doa penutup yang kita kenal sebagai doa karatatul majlis. Doa ini menunjukkan ungkapan syukur kepada Allah atas terselenggaranya acara yang dimaksud dari awal, proses, sampai akhir dengan baik tanpa ada halangan sedikitpun.

Subhaanakallaahumma wa bihamdika, asyhadu al-laa ilaaha illaa anta, astaghfiruka, wa atuubu ilaik.

Artinya: "Maha Suci Engkau ya Allah, aku memuji-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau, aku minta ampun dan bertobat kepada-Mu."(Hadits Riwayat Ashhaabus Sunan dan lihat Shahih At-Tirmidzi 3/153.)

Dengan memperhatikan kata ganti orang pertama “aku” sebagai dhamīr mutakallim , doa kafaratul majlis ini dianjurkan untuk dibaca oleh masing-masing peserta yang hadir.


Allah Itu Jauh ataukah Dekat?

Suatu hari, seorang Arab pegunungan (badui) meminta izin untuk bertemu dengan Rasulullah SAW. Nabi Muhammad SAW kemudian menerimanya. Setelah itu, si badui bertanya, "Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku, apakah Tuhan kita jauh atau dekat?"

Mendengar pertanyaan itu, Nabi SAW diam sejenak. Beliau kemudian bertanya balik kepada si badui.

"Apa maksudmu dengan pertanyaan itu?"

"Begini, ya Rasulullah," jawab dia, "Kalau Tuhan itu dekat, aku cukup berdoa dengan suara berbisik kepada-Nya. Akan tetapi, bila Tuhan itu jauh, aku akan berteriak dengan suara keras saat berdoa kepada-Nya."

Rasul SAW pun kembali terdiam. Inilah salah satu contoh teladan Nabi SAW, yakni hendaknya tidak terburu-buru menjawab pertanyaan, apalagi tanpa adanya petunjuk. Dalam hal ini, beliau ingin menjawab, tetapi dengan kata-kata yang sampai pada daya tangkap si badui.

Tiba-tiba, wahyu turun kepada Nabi SAW. "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran" (QS Al-Baqarah 2:186).

Ayat tersebut di atas membimbing kita untuk mengambil hikmahnya yaitu adab dalam berdoa. Pertama, kita yakin bahwa Allah itu dekat, yang ditandai dengan kita percaya bahwa Allah Mahamendengar dan akan mengabulkan doa kita. Kedua, kita berusaha istiqamah dalam melaksanakan  ketaatan yang telah Allah perintahkan. Ketiga, kita berusaha istiqamah dengan teguh beriman kepada Allah .

Tautan https://islamdigest.republika.co.id/berita/q827ox458/ketika-nabi-muhammad-ditanya-allah-jauh-atau-dekat

Berdzikir dan Berdoa Mengikuti Ajaran Nabi Muhammad SAW

Di ranah tasawuf (tarekat sufi) terdapat beragam metode zikir yang diajarkan oleh para mursyid/syeikh sufi kepada para muridnya. Banyak tingkatan zikir dan cara menerapkannya yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Salah seorang ulama sufi mengatakan bahwa apapun tarekatnya ada 3 metode zikir : 1. Zikir jasad yaitu zikir dengan kalimat Laa ilaaha illallaah, 2. Zikir hati/ruh yaitu zikir dengan kalimat Hu Allah, dan 3. Zikir sirr/nurani yaitu zikir dengan kalimat Hu. Dari ketiga metode zikir tersebut tidak ada yang melebihi atau lebih utama dari yang lain kecuali kalimat Laa ilaaha illallaah sesuai dengan sabda nabi.

Klausa tersebut di atas menunjukkan bahwa berzikir yang sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW adalah kalimat “laa ilaaha illallaah”. Sedangkan 2 metode yang disebutkan sebagai zikir hati dan zikir sirr merupakan metode asumsi (metode rekayasa, metode modifikasi) yang jauh dari kaidah nahwu sharaf (sintaksis dan morfologi).

Tautan https://rumaysha.com/17107-dzikir-paling-utama-laa-ilaha-illallah.html

 

Pangkur-Ngawi, 22 Mei 2024 M / 14 Dzulqa’idah 1445 H Pukul 18.46 WIB

*) Penulis adalah Budayawan/Penasihat GPMB Ngawi bertempat tinggal di Desa Pangkur, Kecamatan Pangkur, Ngawi dan Pengurus PCM Pangkur

 

Share:

0 comments:

Posting Komentar