Dalam berbicara atau membaca nyaring sebenarnya terdapat unsur musikalitas. Hanya saja hal ini tidak pernah dibicarakan secara terinci layaknya sebagai ilmu khusus (disiplin bidang studi tersendiri). Ketika orang berbicara atau membaca nyaring sebenarnya ia lagi menerapkan nada, irama, dinamika, timbre, jeda, dan sebagainya. Sebenarnya ia lagi menerapkan notasi, titinada, bahkan kemerduan (suara merdu, cempreng, medok, cengkok, ngapak, dan sebagainya).
Hal ini saya kemukakan menyusul berita terkait apakah syair itu musik atau bukan. Saya tidak melakukan pembelaan terhadap pihak tertentu. Saya hanya ingin berbicara berdasarkan sudut pandang tertentu. Kalaupun esai yang saya kemukakan ini menimbulkan pro-kontra itu terserah dari pihak-pihak yang berkepentingan. Anggap wajar bahwa hal kecil bisa diperkarakan secara besar-besaran.
Syair sebagai sastra purba, saya sebut sebagai mewakili genre sastra lainnya seperti puisi, gurindam, karmina, seloka, talibun. Tanpa syair dan kawan-kawan yang hadir terlebih dulu, tidak mungkin terjadi perkembangan puisi dan lirik yang ada seperti sekarang. Ada perbaikan dan kemajuan yang signifikan, bahkan boleh dikata seluruh lintas bahasa secara dialek maupun idiolek.
Syair yang di dalamnya terdapat unsur intrinsik : 1. terdiri dari 4 baris, 2. tiap baris terdiri atas 4-6 kata atau 8-12 suku kata, 3. semua baris adalah isi, 4. berima akhir a-a-a-a, dan 5. berupa cerita yang mengandung pesan. Unsur intrinsik syair hanyalah mewakili sekian banyak unsur intrinsik yang ada dalam masing-masing genre. Jadi tidak dibicarakan secara terinci, hanya saja hakikatnya seluruh genre yang ada memang harus memenuhi unsur intrinsik.
Sebagai sastra purba, istilah “Syair” berasal dari bahasa Arab yakni “Syi'ir” atau “Syu'ur” yang berarti perasaan menyadari. Kemudian kata Syu'ur berkembang menjadi Syi'ru yang berarti puisi dalam pengetahuan umum. Sebagai sastra purba, syair sebenarnya karya sastra yang mendapat pengaruh kebudayaan Arab (Hakim, 1993).
Salah satu syair yang terkenal, yaitu Syair Abu Nawas, sebagai berikut.
Ilaahii lastu lil -firdausi ahlaan
wa laa aqwaa alaa naari l-jahiimi
Fa hablii taubatan waghfir dzunuubii
fa innaka ghaafirudzdzambi l-azhiimi.
Dzunuubii mitslu a’daadir-rimaali
fa hablii taubatan yaa dzaal-jalaali
Wa ‘umrii naaqishun fii kulli yaumi
wa dzambii zaa-idun kaifa h-timaali.
Ilaahii abdukal-‘aashii ataaka
muqirran bidzdzunuubi wa qad da’aaka.
Fa in taghfir fa anta lidzaaka ahlun
wa in tathrud faman narjuu siwaaka.
Perhatikan kembali teks “Syair Abu Nawas” yang terdiri atas 4 bait tersebut di atas! Meski Anda baca dalam hati, Anda tetap terpengaruh dengan munculnya musikalitas atas syair tersebut di atas. Kita tidak bisa memungkiri hal ini.
Berikutnya, musik (Yunani: μουσική) adalah nada atau suara yang disusun demikian rupa yang di dalamnya mengandung harmonisasi antara ritme, melodi, timbre, dinamika, bahkan jeda. Selama ini musik selalu digambarkan harus dengan alat (instrumen) musik, dan merupakan perpaduan antara suara vokal dan sejumlah instrumen musik sebagai wujud ekspresi emosional. Padahal ada juga yang tanpa intrumen, yang disebut dengan musik akapela.
Yang jelas bahwa uraian tersebut di atas menunjukkan irisan substansi syair dan musik. Atau Anda berani mengatakan bahwa musik sebagai unsur ekstrinsik dari syair(?) Perkara syair disebut musik, bahkan syuara disebut sebagai pemusik. Hal ini tidak ubahnya dengan istilah “khamr” yang berubah nama jadi “ciu”, “putihan”, “badheg”, “arjo”, dan semacamnya. Bedanya “syair” berada di ranah “tertenggang”, sedangkan “khamr” di ranah “terlarang”.
Pangkur-Ngawi, 11 Mei 2024 02 Dzulqa’dah 1445 H Pukul 15.28 WIB
*) Penulis adalah Budayawan/Penasihat GPMB Ngawi bertempat tinggal di Desa Pangkur, Kecamatan Pangkur, Ngawi dan Pengurus PCM Pangkur