Proses kreatif tak terbatas. Demikian sering saya kemukakan di forum literasi. Saya bermaksud kepada teman-teman literat, dan juga terutama teman-teman yang baru masuk di kancah literasi untuk selalu produktif dalam menulis. Saya hanya bisa memberi contoh. Tidak banyak teori yang bisa saya kemukakan.
Seorang teman literasi, tepatnya #Ustadzah_Sulihati memberikan julukan kepada #Guru_Galib sebagai Al-Mumtaz. Beliau memandang bahwa ada sesuatu yang luar biasa yang lagi dilakukan Guru Galib terkait literasi. Sepanjang yang beliau ketahui tentang kiprah Guru Galib, yaitu penulis puisi, penulis esai, editor, suka mempelajari tahsin dan ngaji nahwu sharaf. Beliau menilai tentu pemahaman Guru Galib tidak asal-asalan.
Berawal dari gambaran tersebut di atas, saya tertarik untuk mengabadikan kiprah Guru Galib dalam berliterasi, dan atas julukan yang diberikan Ustadzah Sulihati kepada Guru Galib, saya pun terinspirasi untuk memberi judul puisi saya, yaitu “Al-Mumtaz”.
Lalu bagaimana “menangkap” larik-larik pengisi puisi? Seperti biasanya saya perlu menyimak satu lagu, barangkali bisa dengan lancar saya bisa menyelesaikannya. Ternyata dengan cara ini, alhamdulillah, saya bisa merampungkannya. Saya menyimak lagu pada tautan video https://www.youtube.com/watch?v=LTsV6_DON_E (Ebiet G Ade - Dia Lelaki Ilham Dari Sorga). Lagu ini sering saya simak dan saya tidak bosan-bosan menyimaknya secara berkala.
Dia Lelaki Ilham dari Sorga |
Al-Mumtaz |
Artis Ebiet G. Ade |
Puisi Kusfandiari MM Abu Nidhat |
|
|
Dia yang berjalan melintasi malam |
Kau yang kemarin merasa kurang |
Adalah dia yang kemarin dan hari ini |
Ada yang mesti kau perbaiki di
hari ini |
Akan selalu menjadi ribuan cerita |
Menebus sesal yang
berkepanjangan |
Karena dia telah menempuh semua perjalanan |
Mumpung masih ada waktu mengisi
hari-hari |
|
|
Dia berjalan dengan kakinya |
Kau perbaiki bagian purwa |
Dia berjalan dengan tangannya |
Kau perbaiki bagian madya |
Dia berjalan dengan kepalanya |
Kau perbaiki bagian wusana |
Tetapi ternyata |
Lebih dari itu |
Ia lebih banyak berjalan dengan pikirannya |
Kau selalu ingin hasil akhir
tampak paripurna |
|
|
Dia jelajahi jagat raya ini. |
Pikiranmu makin liar tak
terbendung |
Dengan telanjang kaki dan tubuh penuh daki |
Ada saja yang mesti kau
telusuri setiap saat |
Meskipun ia lebih lapar dari siapa pun |
dalam diam kau sampai di
pelosok tautan |
Meskipun ia lebih sakit dari siapa pun |
Kau jelajahi dengan pemahaman
yang dalam |
|
|
Ia menempuh lebih jauh dari siapa pun |
Kau tak ingin ketinggalan dalam
sedetik pun |
Meskipun ia lebih miskin dari siapa pun |
Meski generasi di belakangmu
gegap gempita |
Meskipun ia lebih nista dari siapa pun |
Menguasai segala ragam
kecerdasan buatan |
Tetapi ternyata |
Lebih dari itu |
Ia lebih tegak perkasa dari siapa pun |
Kau jauh lebih piawai mengolah beragam
literasi |
|
|
Batu-batu seperti menyingkir |
Tak gentar ada gelombang pasang
virtual |
Sebelum ia datang, sebelum ia lewat |
Tak surut menghadapi badai disrupsi |
Semak-semak seperti menguak |
Bersama teman-teman literasi
lokal |
Sebelum ia injak, sebelum ia menyeberang |
Menggalang mewujudkan ragam
genre |
|
|
Ia berjalan dengan matanya |
Kau melihat dengan mata hati |
Ia berjalan dengan perutnya |
Kau mendengar dengan telinga
hati |
Dia berjalan dengan punggungnya |
Kau berbicara dengan segenap
intuisi |
Tetapi ternyata |
Lebih dari itu |
Ia lebih banyak berjalan dengan pikirannya |
Kau semakin banyak bersyukur
atas karunia Ilahi |
|
|
Gadis-gadis selalu menyapa |
Banyak sudut pandang yang
mengemuka |
Karena dia tampan meskipun penuh luka |
Kau masih bisa menemukan yang
baru |
Kata-katanya tak bisa dimengerti |
Diksimu tak pernah mudah
dipahami |
Tetapi selalu saja akhirnya terbukti |
Teramat jauh dari ranah keterbacaan |
|
|
Ia lelaki gagah perkasa |
Kau hadir dalam ragam diskusi |
Ia lelaki ilham dari sorga |
Jadi saksi bisu perdebatan tak
berujung |
Ia lelaki yang selalu berkata |
Bahkan hasil akhir tanpa
kesimpulan |
"Bahwa kita pasti akan kembali lagi
kepada-Nya" |
Nyatanya kau temukan hikmah
meski kecil sekalipun |
|
|
Du-du-du |
Pangkur-Ngawi, 26 Mei 2024 M /
18 Dzulqa’idah 1445 H Pukul 05.24 WIB |
Du-du-du |
|
Du-du-du |
|
|
|
Catatan : esai ini tidak mudah dipahami. Agar dengan cepat mudah dipahami, silakan teman-teman berkonsultasi dengan penulis dalam setiap kesempatan. Dibaca kemudian dipahami saja tidak cukup. Artinya memang harus dipraktikkan.
Menutup esai saya kali ini bahwa puisi saya tersebut bisa saya selesaikan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Apakah puisi saya “Al-Mumtaz” ini berkategori plagiarisme dari lirik lagu “Dia Lelaki Ilham dari Sorga” karya Ebiet G. Ade. Terserah penilaian Anda, namun saya punya pleidoi dan testimoni bahwa substansi keduanya berbeda. Terlebih lagi apabila puisi “Al-Mumtaz” dibaca dan diiringi dengan musik yang sama sekali berbeda.
Meskipun demikian, puisi “Al-Mumtaz” bisa dibaca di atas panggung dan diiringi aransemen musik karaoke “Dia Lelaki Ilham dari Sorga” karya Ebiet G. Ade dalam acara yang bernuansa Islami atau yang mendukung era literasi, antusias dalam menulis puisi bagi generasi muda.
Semoga esai ini menginspirasi teman-teman Ustadz/Ustadzah lembaga pendidikan Muhammadiyah pada umumnya, khususnya yang berkenan menekuni proses kreatif menulis puisi dan musikalisasi puisi.
Nashrun min Allaah wa fathun qariib.
Pangkur-Ngawi, 26 Mei 2024 M / 18 Dzulqa’idah 1445 H Pukul 05.40 WIB *) Penulis adalah Budayawan/Penasihat GPMB Ngawi bertempat tinggal di Desa Pangkur, Kecamatan Pangkur, Ngawi dan Pengurus PCM Pangkur