Media Pustaka, Informasi dan Digitalisasi

Sejarah Singkat Muhammadiyah

Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1912 M) merupakan momentum penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah kelahiran sebuah gerakan Islam modernis terbesar di Indonesia, ...

SEJARAH MUHAMMADIYAH DI NGAWI

Fajar pencerahan Gerakan Muhammadiyah di kabupaten ngawi dimulai pada tahun 1918 yang kemudian secara resmi menjadi perkumpulan pada tahun 1925, ....

Majelis Pustaka, Informasi dan Digitalisasi PDM Ngawi Ikuti Rakerwil di PWM Jawa Timur

Majelis Pustaka, Informatika, dan Digitalisasi (MPID) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Ngawi mengikuti Rapat Kerja Wilayah (rakerwil),...

Dikdasmen PNF PDM Ngawi Adakan O2SM (Olimpiade Olahraga Sains Muhammadiyah)

O2SM (Olimpiade Olahraga Sains Muhammadiyah) tingkat Kabupaten pada tanggal 26 - 28 Februari 2024....

Pengukuhan PDPM Kabupaten Ngawi Periode 2023-2027

Proses pengukuhan ini dihadiri oleh Wakil Bupati Ngawi Dr. Dwi Rianto Jatmiko, MH, M.Si, unsur Forum Pimpinan Daerah, PWPM Jawa Timur,....

Rabu, 05 Juni 2024

Diam Itu Emas, tetapi Kebusukan Tidak Bisa Dibiarkan - Esai Kusfandiari MM Abu Nidhat


Analogi Berburuk Sangka

Dalam QS Al-Hujurat ayat 12, Allah berfirman :
Yā ayyuhallażīna āmanujtanibụ kaṡīram minaẓ-ẓanni inna ba'ḍaẓ-ẓanni iṡmuw wa lā tajassasụ wa lā yagtab ba'ḍukum ba'ḍā, a yuḥibbu aḥadukum ay ya`kula laḥma akhīhi maitan fa karihtumụh, wattaqullāh, innallāha tawwābur raḥīm ۝١٢

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."

Ada sejumlah hal yang bisa kita petik dari ayat ini, yaitu :
  1. Pertama, panggilan hanya ditujukan kepada orang-orang yang beriman
  2. Kedua, agar setiap kita menjauhi purba sangka
  3. Ketiga, purba sangka adalah berdosa
  4. Keempat, setiap kita tidak boleh mencari-cari keburukan orang
  5. Kelima, setiap kita tidak boleh saling menggunjingkan
  6. Keenam, berburuk sangka dianalogikan sebagai orang yang memakan bangkai saudaranya, yang memberikan gambaran agar setiap kita merasa jijik
  7. Ketujuh, agar kita selalu bertakwa kepada Allah
  8. Kedelapan, Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang

Di era modern analogi yang disebutkan dalam butir 6 (orang yang memakan bangkai saudaranya) disebut predator. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), predator berarti hewan yang hidupnya dari memangsa hewan lain atau hewan pemangsa hewan lain. Contoh predator adalah biawak, buaya, buaya, camar, capung, elang, harimau, hiu, komodo, laba-laba, rajawali, singa, dan ular. Secara umum, sesuai habitat masing-masing, hewan-hewan ini termasuk karnivora yaitu hewan pemakan daging.

Secara analogi atau kiasan, predator berarti pemangsa, seseorang yang memiliki sifat buas atau ganas, yang suka menindas orang lain. Pengghibah termasuk salah satu dari predator. Dengan mengghibah, ia telah membunuh karakter orang yang dighibah. . tanpa konteks ataupun sistematis, pengghibah mereduksi atau menghancurkan reputasi seseorang.

Ruang privacy atau auratnya dibongkar, tentu dibicarakan dengan orang-orang yang sebagian besarnya tidak berkepentingan. Membunuh karakter berarti membuat orang yang dighibah menjadi tidak berdaya, tidak bisa melakukan pembelaan kehormatan diri. Keburukan yang belum tentu melekat pada dirinya terlanjur menyebar dan ia akan mengalami kesulitan untuk melakukan konfirmasi (meluruskan kepada hal yang sebenarnya). Kalau pun berusaha melakukan konfirmasi, ia akan mengalami kesulitan untuk menyampaikan kepada pihak-pihak yang menerima ghibah.

Berghibah Sama Halnya Berbuat Dosa

Oleh sebab itu, berghibah atau mengghibah termasuk perbuatan dosa.

Hadist riwayat Muslim dan at-Tirmidzi sebagai berikut:
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, “Suatu ketika ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah. Apakah ghibah itu?’ Beliau menjawab, ‘Yaitu menyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak dia sukai.’

Beliau kembali ditanya, ‘Apa pendapatmu jika apa yang aku katakan itu ada pada saudaraku?’ Beliau menjawab, ‘Jika apa yang kamu katakan ada padanya, maka sesungguhnya kamu telah mengghibahnya (mengumpatnya). Dan jika tidak ada padanya, maka sungguh kamu telah memfitnahnya.”

Dari hadits ini kita menemukan deskripsi ghibah, sebagaimana hadits-hadits lain, Rasulullah SAW senantiasa menyampaikan deskripsi dan bukan definisi. Hadits ini memberikan gambaran yang jelas bahwa ghibah itu “dzikruka akhaaka bimaa yakrahu” maksudnya “kau (mufrad bukan jamak) mengingat (menyebutkan) saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya”. Tampak bahwa kata “yakrahu” sebagai fi’il mudhari dari “karaha” (benci, tidak suka). Klausa “bimaa yakrahu” dimaksudkan sebagai segala sesuatu yang dengan menyebutkan segala sesuatu mengenai diri seseorang membuat seseorang tidak menyukainya.

Ada orang yang tidak suka dengan ghibah tentang kebaikan-kebaikannya. Tentu semua atau setiap kita tidak menyukai orang-orang yang berghibah tentan keburukan-keburukan kita, apalagi keburukan-keburukan yang diuraikan itu tidak semua merupakan fakta.

Jika ghibah benar-benar terjadi, tidak menutup kemungkinan bisa menimbulkan perseteruan atau perpecahan dalam pergaulan. Jika tidak dapat dikendalikan, pada gilirannya akan timbul upaya saling serang hingga membangkikkan suasana benci dan curiga.

Jika diteruskan, timbullah suasana yang tidak kondusif atau tidak harmonis. Oleh sebab itu, mari kita usahakan untuk tidak membiasakan diri berghibah agar terjalin ukhuwwah islamiyyah. Sebagai golongan orang-orang yang beriman, sudah semestinya kita berusaha menjaga kasih sayang yang selama ini terjalin.

Jika seseorang terbukti melakukan perbuatan yang buruk, kita tidak terburu-buru menghakiminya dengan mengghibah. Masih ada cara untuk memberi nasihat secara halus dan langsung. Jika seseorang melakukan kejahatan, ghibah bukan solusi untuk menumpas kejahatannya.

Jika ghibah merupakan pembicaraan yang mengada-ada, maka tergolong fitnah yang kategorinya lebih kejam dari pembunuhan. Fitnah yang demikian mencerminkan sifat hasad atau dengki dalam hatinya. Setiap kita pasti memiliki kelemahan atau kekurangan. Oleh sebab itu, dalam pergaulan kita berusaha melakukan sinergi, yakni saling melengkapi dan menunjang. Dengan bersinergi, kita mesti menghargai kelebihan masing-masing untuk membangun peradaban.

Memang ada di antara para ulama ada yang membolehkan ghibah dengan syarat, yaitu jika ghibah tersebut bermanfaat demi kemaslahatan umat yang lebih luas, yakni supaya tetap tegaknya hukum Allah. Sebaliknya jika tidak disampaikan justru malah menyesatkan umat dari hukum yang sebenarnya. Juga ghibah dalam rangka melaporkan kejahatan seseorang kepada yang dianggap mampu meluruskan kejahatan tersebut. Diam itu emas, tetapi kebusukan tidak bisa dibiarkan.

Ikan Busuk Dimulai dari Kepalanya

Seorang filsuf Romawi, Marcus Tullius Cicero, berseru,” Ikan busuk dimulai dari kepalanya. Untuk menghindari membusuknya seluruh tubuh ikan itu, maka kepalanya harus dipotong. Kebusukan itu dimulai dari puncak. Kebusukan itu dimulai dari pemimpin-pemimpin!”

Itulah analogi yang disampaikan oleh Cicero mengingat banyak pemimpin Romawi (kepala dari suatu pemerintahan) yang melakukan tindakan pidana korupsi pada saat itu. Secara fisiologi, kepala ikan yang sudah mati lebih sering mengalami pembusukan terlebih dahulu di banding bagian tubuh lainnya. Oleh sebab itu, agar tidak ikut membusuk, bagian kepala harus segera diamputasi kemudian dibuang. Secara analogi, dalam suatu organisasi (lembaga macam apapun), pemimpin melakukan suatu perbuatan yang tercela (busuk) maka pemimpin itu harus segera diganti karena khawatir akan mencemari atau mempengaruhi bagian tubuh lainnya (bawahan, karyawan, staf, personalia, dan sebagainya).

Sebenarnya, secara empiris ilmiah bahwa membusuknya ikan berawal dari insang dan jeroan (isi perut) karena merupakan sumber dan atau tempat berkembangbiaknya bakteri paling besar pada ikan. Sejumlah spesies bakteri patogen sering ditemukan pada ikan dan produk perikanan antara lain: Vibrio parahaemolyticus dan jenis Vibrio lainnya, Escherichia coli, Aeromonas spp., Salmonella spp., Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes, Clostridium botulinum, C. perfringens, dan Shigella spp.Dengan demikian insang dan jeroan harus dibuang. Namun, karena posisi insang di kepala, seluruh bagian kepala terkena imbasnya. Meskipun demikian, jangan Anda salahkan analogi tersebut di atas. Juga tidak usah Anda sebut “ikan busuk dimulai dari insang dan jeroannya”.

Analogi lainnya bahwa kita harus menjaga kepala dan isi kepala kita. Kalau pikiran dan perasaan kita baik, maka baiklah perbuatan dan ucapan kita. Namun, kalai pikiran dan perasaan kita buruk, maka buruklah perbuatan dan ucapan kita. Salah satu di antaranya, kita harus berusaha menjaga isi kepala kita agar kita tidak usah ikut-ikutan untuk berghibah atau mengghibah teman kita, teman kita, bahkan pemimpin kita, bahkan pula pemimpin yang busuk.

Jagalah Hati agar Tetap Baik

Rasulullah SAW pernah bersabda,’Ingatlah, dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Kalau segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya. Tetapi, bila rusak, niscaya aka rusak pula seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu bernama qalbu.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).

Qalbu inilah pangkal keindahan dan kemuliaan. Kuncinya ada pada bagaimana kita mampu menjaga qalbu tetap baik, tetap cantik dan indah. Imam al Ghazali menggolongkan hati ke dalam tiga kelompok, yaitu hati yang sehat (qalbu shahih), hati yang sakit (qalbu maridh), dan hati yang mati (qalbu mayyit). Hati yang sehat berfungsi optimal, yaitu mampu memilah dan melilih setiap rencana atas suatu tindakan. Setiap apa yang kita perbuat benar-benar sudah melewati perhitungan sebagai amal yang shalih. Dengan hati yang sehat, kita dapat mengenal Allah dengan baik.

Hati yang baik sangat jauh dari ujub dan takabbur. Hati yang baik mengarahkan sebagai pribadi yang suka bersyukur, tersungkur bersujud. Semakin tinggi pangkatnya, akan membuatnya semakin rendah hati. Kian melimpah hartanya, ia akan kian dermawan. Semua itu karena ia menyadari bahwa semua yang ada adalah titipan Allah semata. Tidak dinafkahkan dijalan Allah pasti Allah akan mengambilnya jika Allah kehendaki.

Hati yang semakin bersih membuat hidup kita akan selalu diselimuti rasa syukur. Di karuniai apa saja, kendati sedikit, kita tidak akan habis-habisnya meyakini bahwa semua ini adalah titipan Allah semata, sehingga amat jauh dari sikap ujub dan takabbur.

Tatkala dianugerahi Allah berbagai kelebihan, Nabi Sulaiman berseru, “hazza min fadhli rabbi, liyabluwani aasykuru am akfuur (An Naml, 27: 40). (Ini karunia Tuhanku untuk mengujiku apakah aku mampu bersyukur atau malah kufur atas nikmatNya.)

Bagi orang yang hatinya bersih, setiap ujian yang kita terima tetap terasa nikmatnya. Dengan adanya ujian, kita justru benar-benar akan membuat pribadi kita bisa merasakan indahnya hidup ini. Dengan hati yang bersih, kita yakin bahwa ujian adalah salah satu perangkat kasih sayang Allah, yang membuat keimanan dan ketaqwaan kita semakin bermutu dan mengalami peningkatan.

Adanya persoalan menjadikan pribadi kita semakin bertambah ilmu dan sekaligus semakin bertambahlah pahala. Dengan persoalan pula derajat kemuliaan kita semakin meningkat. Sebagai hamba Allah, hati kita yang terjaga sehat tidak akan pernah resah, kecewa dan berkeluh kesah karena kita menyadari bahwa persoalan merupakan bagian yang harus kita nikmati dalam hidup ini.

Dengan hati bersih, ditimpa apapun dalam hidup ini, in sya’a Allah, kita tidak pernah akan berguncang walaupun badai datang menerjang. Ibarat karang yang tegak tegar, dihantam ombak sedahsyat apapun tidak akan pernah roboh. Tidak ada putus asa, tidak ada keluh kesah berkepanjangan. Yang ada hanya kejernihan dan keindahan hati.

Kita mesti yakin dengan janji Allah, seperti yang disebutkan dalam QS Al Baqarah, 2:286 :

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَاۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ اِنْ نَّسِيْنَآ اَوْ اَخْطَأْنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهٗ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهٖۚ وَاعْفُ عَنَّاۗ وَاغْفِرْ لَنَاۗ وَارْحَمْنَاۗ اَنْتَ مَوْلٰىنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَࣖ ۝٢٨٦

lâ yukallifullâhu nafsan illâ wus‘ahâ, lahâ mâ kasabat wa ‘alaihâ maktasabat, rabbanâ lâ tu'âkhidznâ in nasînâ au akhtha'nâ, rabbanâ wa lâ taḫmil ‘alainâ ishrang kamâ ḫamaltahû ‘alalladzîna ming qablinâ, rabbanâ wa lâ tuḫammilnâ mâ lâ thâqata lanâ bih, wa‘fu ‘annâ, waghfir lanâ, war-ḫamnâ, anta maulânâ fanshurnâ ‘alal-qaumil-kâfirîn

Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya. Baginya ada sesuatu (pahala) dari (kebajikan) yang diusahakannya dan terhadapnya ada (pula) sesuatu (siksa) atas (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa,) “Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami salah. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami. Maka, tolonglah kami dalam menghadapi kaum kafir.”

Oleh sebab itu dengan hati yang bersih, kita berusaha menjauhkan diri dari berghibah atau mengghibah. Hal ini mengingat bahwa beban setiap orang menurut kesanggupannya. Sebagai pangkal keindahan dan kemuliaan, kita berusaha menjaga hati tetap bersih, dan hidup kita selalu diselimuti rasa syukur.

Adapun kalau ada seseorang yang patut diduga menyimpang dan atau melakukan perbuatan yang baik, sedapat mungkin kita memberi nasihat kepadanya. Kita berusaha mengingatkan dengan cara sebaik-baiknya. Jangan sampai kita berghibah atau menggibah. Jika tidak mungkin, sebaiknya kita diam. Diam itu emas, tetapi kebusukan tidak bisa dibiarkan.
https://www.kompasiana.com/luqmanfaiq/6004ca18d541df419f6dd168/filosofi-ikan-busuk

Semoga kita sekalian dalam lindungan Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Afwan.

Nashrun min Allah wa fathun qarib.

Ngawi, 09 Ramadhan 1445 H / 19 Maret 2024 M Pukul 08.27 WIB *) Penulis adalah Budayawan/Penasihat GPMB Ngawi bertempat tinggal di Desa Pangkur, Kecamatan Pangkur, Ngawi dan Pengurus PCM Pangkur
Share:

Senin, 03 Juni 2024

Di Atas Panggung Tidak Selalu Bersandiwara - Esai Kusfandiari MM Abu Nidhat


Sering terjadi lembaga pendidikan mengikutsertakan siswa dalam lomba membaca puisi. Dalam praktiknya, sebelum tampil guru hanya “menyuruh” siswa yang bersangkutan untuk “berlatih sendiri” di rumah. Atau meningkat lagi, ada guru yang meluangkan waktu untuk melatih siswa. Hal yang belum pernah dilakukan yaitu bagaimana siswa menguasai panggung. Jangankan siswa, gurunya sendiri belum pernah tampil di atas panggung.

Menguasai panggung merupakan hal penting dalam acara tertentu. Penguasaan ini bukan berlaku pada pembawa acara atau yang sering disebut sebagai MC (Master of Ceremony). Semua yang berhubungan dengan audiens harus menguasai panggung. Selain pembawa acara, ketua panitia, pembina, narasumber, moderator, penyanyi, pemain musik, peserta lomba harus bisa menguasai panggung. Hal ini mengingat bahwa menguasai panggung merupakan salah satu faktor keberhasilan suatu acara.

Sebagai tempat berlangsungnya pertunjukan, panggung dirancang dengan ketinggian tertentu agar para audiens bisa menonton aktivitas yang terjadi tanpa ada halangan sedikitpun. Tinggi panggung harus dirancang dengan rasio yang proporsional. Harus ada perhitungan yang cermat, misalnya gedung pertunjukan dengan luas 8 x 10 meter persegi dengan ketinggian sekitar 80 cm. Demikian pula jika pertunjukan di luar ruangan, ketinggian panggung harus diperhitungkan dengan luas area. Ada fenomena yang menarik bahwa penyedia panggung berlomba-lomba membut panggung yang tinggi yang juga disesuaikan dengan kualitas soundsystem.

Untuk kepentingan pendidikan (edukasi), saya membatasi pada pelatihan membaca puisi. Yang sering kita lihat bahwa pelatihan membaca puisi hanya dilaksanakan di lantai yang datar. Artinya tidak pernah diselenggarakan simulasi di atas panggung. Simulasi ini akan membuahkan hasil yang efektif dan efisien. Siswa yang dilatih benar-benar terlatih sebelum tampil di atas panggung. Juga guru yang mendampingi “akhirnya” benar-benar menghayati bagaimana “rasanya” berdiri di atas panggung.

Tidak semua orang berkesempatan dan berani berdiri di atas panggung. Demikian pula tidak semua guru berkesempatan dan berani berdiri di atas panggung. Apabila berkesempatan, belum tentu langsung menerima, karena boleh jadi yang bersangkutan mengalami demam panggung. Demam panggung yang berkategori berat dinamakan glossophobia, yaitu jenis fobia sosial yang membuat penyandangnya mengalami ketakutan berlebihan saat berbicara di depan orang banyak.

Sayang sekali bahwa di mata pelajaran Bahasa Indonesia, jatah waktu yang disediakan untuk membaca puisi sangat terbatas. Tidak semua siswa memperoleh pelayanan untuk praktik membaca puisi. Demikian pula sangat sedikit siswa yang berkesempatan untuk tampil di atas panggung, kalau bukan karena ada acara tertentu atau diikutsertakan dalam lomba baca puisi.

Menghayati, mengolah vokal, dan tampil merupakan tiga unsur penting dalam membaca puisi di atas panggung. Oleh sebab itu agar hasilnya maksimal, perlu diselenggarakan pelatihan yang berkali-kali. Hal ini tidak bisa dilakukan dalam sehari penuh. Beberapa hari meski dalam durasi yang pendek lebih bagus daripada satu kali pelatihan dalam waktu berjam-jam.

Menghayati berarti pembaca benar-benar memahami isi dari puisi yang bersangkutan. Pemahaman ini terbaca manakala larik-larik puisi dibaca dengan nada, aksentuasi, irama, kemerduan bahkan jeda yang tepat. Jika dengan pelantang suara, tentu diharapkan pelantang suara yang berkualitas. Jangan sampai pembaca puisi susah payah melakukan pelatihan, ternyata pelantang suara yang disediakan tidak berkualitas.

Mengolah vokal berarti pembaca puisi benar-benar melakukan pengelolaan artikulasi yang sebaik-baiknya. Jadi tidak sekedar mengucapkan kata-kata yang ada dalam larik-larik puisi melainkan harus diolah dengan jelas kapan suatu kata dibaca dengan nyaring dan lantang, dibaca dengan lembut nyaris tak terdengar, dibaca dengan tegas, dibaca dengan nada sedih, meratap, dan merintih, dan sebagainya.

Juga penampilan harus diperhatikan dan tentu saja kostumnya menyesuaikan dengan penyelenggaraan acara dan atau suasana batin yang ada dalam puisi yang bersangkutan. Intinya tidak asal berbusana, dan tidak asal tampil yang akhirnya bisa menimbulkan lelucon maupun kekecewaan audiens.

Tiap orang memiliki warna suara. Dengan kata lain bahwa warna suara itu unik. Memang warna suara seseorang tidak berhubungan langsung dengan kejelasan ucapan. Warna suara berat, tinggi, besar, atau kecil semuanya dapat menghasilkan suara yang jelas apabila pembaca tidak memiliki masalah artikulasi. Ketika puisi dibaca dengan lambat, kejelasan ucapan akan lebih terdengar. Meski sejak lahir, warna suara yang dimiliki terdengar “cempreng” tidak usah berkecil hati. Dengan berlatih secara terus menerus suara “cempreng” bisa dimanipulasi menjadi suara yang indah dan unik, bukan karena manipulasi secara elektronik melalui synchronizer maupun equalizer.

Teknik Membaca Puisi di Atas Panggung

Ada tiga teknik membaca puisi di atas panggung, yaitu membaca tekstual, membaca deklamasi, dan membaca teatrikal. Membaca tekstual memiliki ciri membawa teks pada saat tampil. Hal yang harus diperhatikan hendaknya teks ditulis atau diketik dengan font Arial yang mudah dibaca di atas kertas ukuran A5 atau separuh dari A4. Jangan menggunakan kertas yang berukuran F4, selain bisa menutupi wajah, ukuran ini terhitung tidak praktis. Juga sedapat pungkin tampilan kertas yang menarik lebih tebal mungkin bagian belakang yang mengkilat dengan warna tertentu. Kalau perlu terdapat logo dari lembaga pendidikan atau identitas lain yang relevan.

Membaca tekstual memang tidak ada tuntutan untuk dihafalkan. Dengan teknik ini, puisi yang dibaca bisa divariasikan dengan gerak tubuh, seperti berdiri, duduk, dan bergerak secara terbatas. Misalnya dengan formasi huruf V. Artinya dimulai dari tengah agak belakang, kemudian bergerak serong ke kiri, tangan kiri memegang kertas. Sampai batas tepi panggung kiri depan, kemudian pelan-pelan bergeser ke tengah depan. Jika diteruskan ke kanan, kertas berpindah ke tangan kanan dengan maksud agar tidak menutup wajah dan enak dipandang. Mendekati bait terakhir atau larik-larik terakhir bergerak ke kiri sampai titik tengah. Kemudian mundur beberapa langkah, kertas berpindah tangan ke tangan kiri. Kemudian hormat kepada audiens.

Adapun membaca deklamasi ialah teknik membaca dengan menghafal teks puisi terlebih dahulu. Saat tampil, pembaca tidak membawa teks puisi. Tampilan ini mengharuskan pembaca memiliki daya hafal yang bagus. Kini teknik ini sudah jarang diterapkan, karena dirasa tuntutannya yang berkategori berat. Jangankan pembaca, penyair sendiri sebagai pemilik puisi yang bersangkutan, tidak pernah tampil secara deklamasi.

Meski demikian, teknik ini menunjukkan keunggulan yaitu pembaca bisa secara leluasa bebas bergerak, karena tidak terikat dengan teks yang dibaca. Keunggulan berikutnya, deklamator bisa menunjukkan penghayatan yang lebih baik, ekspresi, suara, gestur, dan mimik wajah yang lebih baik dibandingkan dengan teknik tekstual.

Sedangkan membaca teatrikal merupakan teknik yang lebih kreatfi dan ekspresif. Selain hafalan yang kuat, pembaca dituntut untuk menunjukkan ekspresi, penghayatan, dan penjiwaan secara totalitas terhadap isi puisi yang dibacanya. Dengan demikian, tampilannya menjadi lebih menarik karena didukung dengan eksesoris, musik, latar, dan setting panggung.

Lalu mana yang tepat kita gunakan? Kita bisa menggunakan perpaduan antara membaca tekstual dan membaca teatrikal terbatas. Perpaduan semacam ini juga bisa menghasilkan tampilan yang totalitas, apalagi pembaca benar-benar bisa meragakan dengan gerak tangan yang relevan dan bisa mendeskripsikan larik-larik yang dibaca serta benar-benar bisa menguasai panggung.

Dengan pelatihan rutin dan mengelola gaya yang dipilih berdasarkan aspek kesiapan diri, situasi kondisi, kecocokan puisi, dan sarana pendukung yang memadai, kelak membaca puisi yang dimaksud bisa mencapai hasil yang maksimal. Pelatihan di atas panggung bisa didukung dengan kehadiran sejumlah teman yang duduk dan menyaksikan di depan panggung. Hal ini dimaksudkan untuk melatih mental dan menambah jam terbang pengalaman membaca puisi.

Langkah-langkah Membaca Puisi di Atas Panggung

Langkah-langkah pelatihan membaca puisi di atas panggung, meliputi :
  1. berdiri dengan tenang dan percaya diri dengan kemampuan yang dimiliki,
  2. tubuh dihadapkan kepada penonton, kuasai mental dan situasi dengan cara mengarahkan pandangan ke sekeliling,
  3. dilanjutkan dengan memberikan salam, 4. pertama yang harus dibaca adalah judul dan nama penulis puisi dengan jelas,
  4. berhenti sejenak untuk mengambil nafas. kemudian mulailah membaca puisi dengan penghayatan penuh,
  5. selama membaca puisi harus fokus dan perhatikan larik puisi agar tidak salah membaca,
  6. tidak usah hiraukan hiruk pikuk atau riuhnya suara penonton, dalam simulasi sejumlah teman boleh menimbulkan kegaduhan,
  7. pastikan anda bersikap tenang, kemudian berhenti sejenak, embuskan napas perlahan, hormat kepada penonton sambil menunduk,
  8. tidak usah tergesa-gesa pada saat anda meninggalkan tempat pembacaan puisi,
  9. kejelasan ucapan, kriteria vokal, dan jeda harus diatur dengan tepat agar pembacaan puisi dapat maksimal. pembaca harus memperhatikan kapan saat yang tepat untuk mengambil napas dan berapa lama waktu yang diperlukan.
selain itu, masalah ketahanan dan kelancaran juga menjadi kriteria vokal yang baik. yang dimaksud dengan ketahanan adalah kekuatan vokal dari awal pembacaan sampai akhir pembacaan puisi. terutama untuk puisi panjang, ketahanan sangat dibutuhkan. jangan sampai pada akhir pembacaan puisi, kekuatan vokal sudah berkurang, 11. tampil secara prima yang menyangkut teknik muncul, blocking dan pemanfaatan latar, gerakan tubuh, dan cara berpakaian.

teknik muncul adalah cara yang ditempuh oleh pembaca puisi dalam memperlihatkan diri untuk kali pertama. teknik ini digunakan agar pembaca puisi menguasai panggung terlebih dahulu. hal kedua yang harus diperhatikan berkaitan dengan penampilan adalah blocking. blocking adalah bagaimana pembaca memosisikan tubuh pada saat membaca puisi; blocking juga berkaitan dengan pemanfaatan latar atau benda-benda yang ada di panggung; gerakan tubuh menyesuaikan jiwa puisi yang sedang dibaca. hal keempat adalah cara berpakaian; cara berpakaian berkaitan dengan pertimbangan apakah perlu menggunakan pakaian yang mendukung isi puisi; ketika sedang membacaka puisi kesedihan, misalnya, pakaian yang digunakan berwarna gelap.

Cara Menguasai Panggung saat Lomba Baca Puisi

Cara menguasai panggung saat lomba baca puisi, meliputi : 1. berdoa terlebih dulu, 2. mengarahkan pandangan ke depan seolah-olah menyapa seluruh audiens termasuk juri, 3. optimis memrioritaskan kemenangan dengan semangat yang tinggi namun tanpa beban dengan tetap enjoy.

Tentu saja tulisan yang saya sampaikan ini sangat terbatas. Ada baiknya kita benar-benar bisa memraktikkan. Saya tawarkan kepada teman-teman guru (asatidz dan asatidzah) untuk bersedia mengikuti kelas pelaatihan membaca puisi yang diselenggarakan di masa mendatang, yang pada gilirannya bisa mengimbaskan pada para siswa di kelasnya masing-masing.

Jangan sampai terjadi demam panggung yang tidak kita inginkan. Hal ini menyadarkan kita bahwa panggung harus benar-benar kita kuasai. Siapa tahu di antara kita kelak benar-benar berdiri di atas panggung, meski hanya tampil dengan durasi hanya 4-5 menit.

Ingatlah bahwa pengalaman tampil berdiri di atas panggung merupakan pengalaman yang sangat berharga dan kesempatan itu belum tentu bisa diulang. Ingat pula bahwa “Di atas panggung tidak selalu bersandiwara, melainkan memang serius membawa misi untuk menyampaikan sesuatu di depan audiens sehingga mereka bisa menikmati suasana yang kita ciptakan meski hanya sesaat!”

Pangkur-Ngawi, 01 Juni 2024 M / 24 Dzulqa’idah 1445 H Pukul 20.19 WIB
*) Penulis adalah Budayawan/Penasihat GPMB Ngawi bertempat tinggal di Desa Pangkur, Kecamatan Pangkur, Ngawi dan Pengurus PCM Pangkur
Share:

Minggu, 02 Juni 2024

Silogisme Hipotetik Imam Al Ghazali dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah - Esai Kusfandiari MM Abu Nidhat


Definisi Silogisme

Secara sederhana, silogisme itu proses berpikir logis. Terdapat 3 bagian dalam proses berpikir logis itu, yaitu premis-premis, pangkal tolak penalaran, dan perumusan hubungan (penarikan simpulan). Dengan kata lain, silogisme adalah penarikan simpulan (konklusi) secara deduktif berdasarkan pernyataan atau premis-premis majemuk yang diberikan.

Salah satu macam silogisme, yaitu silogisme hipotetik. Silogisme hipotetik adalah silogisme yang mengandung pernyataan bersyarat untuk memenuhi suatu kondisi. Premis mayor silogisme hipotetik berupa implikasi atau pernyataan bersyarat yang ditandai dengan kata “jika” dan “maka”. Silogisme hipotetik menyimpulkan apakah suatu kondisi terpenuhi syaratnya atau tidak. Rumus silogisme hipotetik adalah: Premis mayor: p→q Premis minor: p Simpulan: q Ada empat macam tipe silogisme hipotetik:

1. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengakui bagian anteseden

Contoh:
Premis 1 : Jika hujan, saya naik mobil
Premis 2 : Sekarang hujan
Simpulan : Jadi saya naik mobil

2. Silogisme hipotetik yang premis minonnya mengakui bagian konsekuennya

Contoh:
Premis 1 : Bila hujan, tanah akan basah
Premis 2 : Sekarang tanah basah
Simpulan : Jadi hujan telah turun

3. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari anteseden

Contoh:
Premis 1 : Jika harga BBM naik, maka harga kebutuhan pokok akan naik
Premis 2 : Harga BBM tidak naik
Simpulan : Jadi harga kebutuhan pokok tidak akan naik

4. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari bagian konsekuennya

Contoh:
Premis 1 : Bila mahasiswa melakukan demonstrasi, pemerintah akan gelisah
Premis 2 : Pemerintah tidak gelisah
Simpulan : Jadi mahasiswa tidak melakukan demonstrasi

Contoh silogisme hipotetik Premis mayor: Jika sepatuku masih basah, aku akan pergi menggunakan sandal. Premis minor: Aku pergi menggunakan sandal. Simpulan: Sepatuku masih basah.

Definisi Bahagia Menurut Imam Al-Ghazali dan Ibn Al-Qayyim

Kebahagiaan merupakan tujuan akhir manusia dalam hidupnya, namun konsep kebahagiaan yang sebenarnya telah menjadi perdebatan di antara para filsuf, termasuk di dalamnya para pemikir Islam.

Dalam perspektif Islam, kebahagiaan tidak hanya sekadar memperoleh kepuasan duniawi, namun juga merupakan upaya memperoleh keridhaan Allah. Imam Al-Ghazali dan Ibn Qayyim, dua tokoh Islam terkemuka, mengajarkan konsep kebahagiaan yang mendalam dan kompleks.

Definisi Bahagia Imam Al-Ghazali

Imam Al-Ghazali, seorang ulama Muslim abad ke-11, dikenal sebagai salah satu pemikir Islam terbesar di dunia. Ia menulis beberapa karya penting yang banyak dibaca dan dipelajari hingga saat ini, di antaranya "Ihya Ulumuddin" dan "Kimiyah Sa'adah".

Dalam karyanya, Al-Ghazali menyatakan bahwa bahagia sejati tidak hanya terletak pada kesenangan materi atau kenikmatan duniawi, namun juga terletak pada kesadaran spiritual.

Menurut Al-Ghazali, kesadaran tersebut dapat diperoleh melalui kepatuhan terhadap ajaran agama, memperbanyak amal kebajikan, dan menghindari perilaku buruk.

Dalam "Kimiyah Sa'adah", Al-Ghazali menulis, "Kebahagiaan sejati adalah meraih kesadaran tentang realitas diri dan keadaan manusia, dan kesadaran tersebut hanya bisa diperoleh melalui pengetahuan dan pengalaman spiritual."

Empat Macam Silogisme Hipotetik berdasarkan Definisi Bahagia Imam Al-Ghazali :

1. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengakui bagian anteseden

Premis 1 : Jika saya bisa meraih kesadaran tentang realitas diri dan keadaan manusia, saya merasa bahagia
Premis 2 : Sekarang saya bisa meraih kesadaran tentang realitas diri dan keadaan manusia
Simpulan : Jadi saya merasa bahagia

2. Silogisme hipotetik yang premis minonnya mengakui bagian konsekuennya

Premis 1 : Jika saya bisa memperoleh kesadaran melalui pengetahuan dan pengalaman spiritual, saya meraih kebahagiaan sejati
Premis 2 : Sekarang saya meraih kebahagiaan sejati
Simpulan : Jadi saya bisa memperoleh kesadaran melalui pengetahuan dan pengalaman spiritual

3. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari anteseden

Premis 1 : Jika saya bisa memperoleh kesadaran melalui pengetahuan dan pengalaman spiritual, saya meraih kebahagiaan sejati
Premis 2 : Saya tidak meraih kebahagiaan sejati
Simpulan : Jadi saya tidak bisa memperoleh kesadaran melalui pengetahuan dan pengalaman spiritual

4. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari bagian konsekuennya

Contoh:
Premis 1 : Jika saya tidak bisa memperoleh kesadaran melalui pengetahuan dan pengalaman spiritual, saya tidak bahagia
Premis 2 : Saya tidak bahagia
Simpulan : Jadi saya tidak bisa memperoleh kesadaran melalui pengetahuan dan pengalaman spiritual

Definisi Bahagia Ibn Qayyim al-Jawziyyah

Ibn Qayyim al-Jawziyyah, seorang ulama Muslim abad ke-13, juga dikenal sebagai salah satu pemikir Islam terbesar di dunia. Ia menulis beberapa karya penting seperti "Madarijus Salikin" dan "Zadul Ma'ad".

Ibn Qayyim menyatakan bahwa kebahagiaan sejati tidak dapat dicapai melalui materi atau kenikmatan duniawi semata, namun terletak pada hubungan yang baik dengan Allah dan sesama manusia. Ia menyatakan, "Kebahagiaan sejati adalah keadaan jiwa yang merasakan kedekatan dengan Allah, dan keadaan sosial yang berdampak pada kedamaian hati dan ketenangan jiwa."

Ibn Qayyim juga menekankan pentingnya kehidupan dalam kesederhanaan dan keseimbangan, serta menekankan bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa diperoleh dengan mengikuti ajaran agama secara tulus dan ikhlas.

Empat Macam Silogisme Hipotetik berdasarkan Definisi Bahagia Ibn Qayyim al-Jawziyyah

1. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengakui bagian anteseden

Premis 1 : Jika saya bisa meraih kedekatan dengan Allah, saya merasa bahagia
Premis 2 : Sekarang saya bisa meraih kedekatan dengan Allah
Simpulan : Jadi saya merasa bahagia

2. Silogisme hipotetik yang premis minonnya mengakui bagian konsekuennya

Premis 1 : Jika saya bisa memperoleh kesadaran melalui keadaan sosial yang berdampak pada kedamaian hati dan ketenangan jiwa, saya meraih kebahagiaan sejati
Premis 2 : Sekarang saya meraih kebahagiaan sejati
Simpulan : Jadi saya bisa memperoleh kesadaran melalui keadaan sosial yang berdampak pada kedamaian hati dan ketenangan jiwa

3. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari anteseden

Premis 1 : Jika saya bisa memperoleh kesadaran melalui keadaan sosial yang berdampak pada kedamaian hati dan ketenangan jiwa, saya meraih kebahagiaan sejati
Premis 2 : Saya tidak meraih kebahagiaan sejati
Simpulan : Jadi saya tidak bisa memperoleh kesadaran melalui keadaan sosial yang berdampak pada kedamaian hati dan ketenangan jiwa

4. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari bagian konsekuennya

Premis 1 : Jika saya tidak bisa memperoleh kesadaran melalui keadaan sosial yang berdampak pada kedamaian hati dan ketenangan jiwa, saya tidak bahagia
Premis 2 : Saya tidak bahagia
Simpulan : Jadi saya tidak bisa memperoleh kesadaran melalui keadaan sosial yang berdampak pada kedamaian hati dan ketenangan jiwa

Dengan memperhatikan penjelasan tersebut di atas, kita dapat menandai dengan tanda [x] atau [v] pada bagian yang kita nyatakan sebagai capaian pada hari ini. Silakan Anda menandai sesuai dengan capaian secara jujur dan terbuka! Satu tanda [x] atau [v] untuk Silogisme Hipotetik berdasarkan Definisi Bahagia Imam Al-Ghazali dan satu tanda [x] atau [v] untuk Silogisme Hipotetik berdasarkan Definisi Bahagia Ibn Qayyim al-Jawziyyah.

Implikasi dalam Kehidupan Sehari-hari

Pandangan Imam Al-Ghazali dan Ibn Qayyim tentang kebahagiaan memiliki implikasi besar dalam kehidupan sehari-hari. Kedua tokoh ini menekankan pentingnya menjaga kesimbangan antara kebutuhan jasmani dan spiritual dalam hidup. Ini berarti bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa dicapai hanya dengan mengejar kebahagiaan duniawi semata, melainkan juga harus mencari kebahagiaan yang berasal dari hubungan yang baik dengan Allah dan sesama manusia.

Oleh karena itu, untuk mencapai kebahagiaan sejati, kita perlu terus memperbanyak amal kebajikan, mempraktikkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, dan menghindari perilaku buruk.

Firman Allah dalam QS Al-Qashash 28:77
وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ ۝٧٧


wabtaghi fîmâ âtâkallâhud-dâral-âkhirata wa lâ tansa nashîbaka minad-dun-yâ wa aḫsing kamâ aḫsanallâhu ilaika wa lâ tabghil-fasâda fil-ardl, innallâha lâ yuḫibbul-mufsidîn

“Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Pengingat

Dalam perspektif Islam, kebahagiaan bukanlah sekadar memperoleh kepuasan duniawi semata, namun juga merupakan upaya memperoleh keridhaan Allah. Imam Al-Ghazali dan Ibn Qayyim mengajarkan definisi kebahagiaan yang mendalam dan kompleks, yang tidak hanya terletak pada kesenangan materi atau kenikmatan duniawi, melainkan juga terletak pada kesadaran spiritual dan hubungan yang baik dengan Allah dan sesama manusia.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita perlu terus mempraktikkan nilai-nilai Islam dan menghindari perilaku buruk untuk mencapai kebahagiaan sejati. Mengejar dunia sebagai tujuan akan sangat merugikan, kita dianjurkan mengejar akhirat sebagai tujuan akhir. Kejarlah akhirat, maka dunia akan kau genggam dengan mudah. Segala urusan dunia akan dimudahkan oleh Allah ketika tujuan kita untuk mengejar akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

“Barangsiapa menjadikan dunia sebagai tujuan utamanya, maka Allah akan cerai beraikan urusannya, lalu Allah akan jadikan kefakiran selalu menghantuinya, dan rezeki duniawi tak akan datang kepadanya kecuali hanya sesuai yang telah ditakdirkan saja. Sedangkan, barangsiapa yang menjadikan akhirat sebagai puncak cita-citanya, maka Allah akan ringankan urusannya, lalu Allah isi hatinya dengan kecukupan, dan rezeki duniawi mendatanginya padahal ia tak minta”. (Hadits Riwayat Baihaqi dan Ibnu Hibban)

https://www.kompas.com/skola/read/2022/06/04/115916169/silogisme-kategorik-silogisme-hipotetik-dan-silogisme-alternatif.
https://www.cnnindonesia.com/edukasi/20230926130934-561-1003860/kumpulan-contoh-soal-silogisme-skd-cpns-dan-jawaban.
https://www.kompasiana.com/jaenalmuttaqin/6420004d08a8b5782f3e7eb2/definisi-bahagia-menurut-imam-al-ghazali-dan-ibn-al-qayyim?page=all#section1

Pangkur-Ngawi, 01 Juni 2024 M / 24 Dzulqa’idah 1445 H pukul 13.30 WIB
*) Penulis adalah Budayawan/Penasihat GPMB Ngawi bertempat tinggal di Desa Pangkur, Kecamatan Pangkur, Ngawi dan Pengurus PCM Pangkur
Share: